MATA KULIAH MATERI FIQH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna, kesempurnaan ini tercerminkan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang mengatur disemua lini kehidupan manusia, mulai dari persoalan ibadah, munakahat hingga muamalah semuanya tidak lepas dari sentuhan hukum Islam.
Produk hukum Islam menjelaskan detil terperinci dari suatu permasalahan yang ada dalam kehidupan, semua itu bersumber dari dalil yang jelas, yakni Al-Qur’an dan al-hadits.
1.2. Rumusan Masalah
1. Jelaskan tentang syirkah dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
2. Jelaskan tentang mudharabah dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
3. Jelaskan tentang musaqah dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
4. Jelaskan tentang muzara’ah dan mukhabara serta hal-hal yang berkaitan dengannya!.
1.3. Tujuan Penulisan
Yaitu untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang fiqih muamalah, khususnya tentang syirkah, mudharabah, musaqah, muzara’ah dan mukhabarah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Syirkah
2.1.1. Definisi dan Dasar Hukum
Menurut bahasa, syirkah berarti perhimpunan (serikat / persekutuan), sedangkan menurut syara’ yaitu Ákad yang menuntut adanya kepastian suatu hak milik dua orang atau lebih untuk suatu tujuan dengan sistem bagi untung rugi secara merata.
Dasar hukum syirkah yaitu firman Allah Ta’ala yang artinya: “...Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.....” (QS. An-Nisaa’: 12)
Dan hadits qudsi Allah berfirman:
َنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Artinya: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak menciderai rekannya. Ketika dia menciderai rakannya, Aku keluar dari persekutuan di antara mereka berdua”. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim).
2.1.2. Persyaratan Akad, rukun dan Macam-Macam Syirkah
Akad syirkah atau serikat sah hukumnya apabila di adakan oleh para pihak telah baligh, berakal dan waras.
Rukun syirkah ada empat, yaitu sighat, pihak yang berakad, kekayaan dan pekerjaan.
Syirkah terdiri atas empat macam, yaitu:
1) Serikat yang berkenaan dengan badan atau pekerjaan
Yaitu persekutuan dari para pemilik pekerjaan, dengan kesepakatan bahwa hasil dari pekerjaan yang dilakukan mereka menjadi milik mereka secara merata, baik mereka melakukan pekerjaan yang sama atau tidak. Misalnya, kerjasama antara kuli angkut dalam memborong suatu pekerjaan yang upahnya akan dibagi rata.
Menurut ulama Syafi’iyah hukum serikat semacam ini batal, karena tidak ada modal yang dihimpun didalamnya, dan ada unsur tindak penipuan. Sebab masing-masing pihak tidak mengetahui rekanannya menghasilkan keuntungan atau tidak.
2) Serikat Dagang
Yaitu serikat dengan ketentuan para pemilik saham memiliki hak dan kewajiban yang sama, atau persekutuan beberapa orang dengan menerima hasil dan tanggung jawab secara bersama-sama. Misalnya, barang yang dighashab (rampas). Serikat semacam ini menurut ulama Syafi’iyah hukumnya juga batal, karena didalamnya ada kemungkinan terjadinya penipuan.
Sementara itu, ulama Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkannya, karena serikat semacam ini hampir sama dengan mudharabah.
3) Serikat Wujuh
Yaitu persekutuan yang di adakan oleh beberapa orang dalam hal keuntungan bisnis dari perniagaan mereka hingga masa tertentu. Serikat semacam ini, menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah hukumnya juga batal, karena tidak ada kekayaan yang terhimpun diddalamnya yang bisa ditarik kembali jika terjadi pembatalan akad.
4) Serikat ‘inan
Yaitu perserikatan beberapa orang dalam pengumpulan harta yang dipergunakan untuk berdagang, atau masing-masing pihak membawa kekayaan untuk dihimpun dengan kekayaan milik rekanannya. Menurut ijma’ ulama, serikat semacam ini hukumnya boleh, hal ini sesuai dengan hadits yang telah disampaikan dimuka.
2.1.3. Sistem Pembagian Keuntungan
Keuntungan dan kerugian dibagi secara merata sesuai dengan kadar kepemilikan kekayaan tersebut. Karena keuntungan membuktikan adanya perkembangan kedua kekayaan itu, sedangkan kerugian menandakan adanya penurunan kekayaan tersebut. Oleh karena itu, keuntungan dan kerugian harus disesuaikan dengan kadar harta tersebut.
2.2. Mudharabah
2.2.1. Definisi dan Dasar Hukum
Kata mudharabah merupakan istilah yang dipakai oleh penduduk Iraq, karena masing-masing pihak yang mengadakan akad bergerak mengambil keuntungan yang diperoleh, dalam hal ini umumnya mengandung unsur safar. Sementara safar disebut pergerakan (dharb) dimuka bumi. Sedangkan menurut bahasa penduduk Hijaz disebut qiradh, di ambil dari kata dasar al-qardh yang artinya membagi, karena pemilik modal menanamkan sebagian kekayaannya kepada pengusaha untuk mengelolanya dan memberikan sebagian keuntungannya.
Madharabah atau qiradh menurut syara’ adalah penanaman sejumlah modal oleh pemilik kekayaan kepada seseorang (pengusaha) untuk kepentingan bisnis dibidang perdagangan, dan laba yang diperoleh menjadi milik bersama di antara mereka.
Dasar hukum pensyari’atan mudharabah yaitu firman Allah SWT:
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. ......” (QS. Al-Baqarah: 198)
Serta hadits Nabi SAW. yang artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majjah)
2.2.2. Rukun dan Syarat Mudharabah
Secara umum rukun dan syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
1) Orang yang berakad, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib). Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf atau cakap hukum, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
2) Modal atau harta pokok (mal), syarat-syaratnya yakni:
a. Berbentuk uang
Mayoritas ulama berpendapat bahwa modal harus berupa uang dan tidak boleh barang. Mudharabah dengan barang dapat menimbulkan kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Apabila barang itu bersifat tidak fluktuatif seperti berbentuk emas atau perak batangan (tabar), para ulama berbeda pendapat. Imam malik dalam hal ini tidak tegas melarang atau membolehkan. Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserahkan kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobal tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya Rp 90.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp 90.000.000.
b. Jelas jumlah dan jenisnya
Jumlah modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
c. Tunai
Hutang tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama syafi’i dan Maliki melarangnya karena merusak sahnya akad.
Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung
Apabila tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada modal, yaitu penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan sepenuhnya, maka menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usahanya.
3) Sighat (Ijab Qobul)
Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
4) Pembagian Keuntungan
a. Proporsi jelas. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% : 50% dan sebagainya menurut kesepakatan bersama.
b. Keuntungan harus dibagi untuk kedua belah pihak, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
2.2.3. Kewajiban Mudharib
1) Tidak memberikan modal ke pihak lain tanpa seizin pemilik modal, karena tugas yang di embannya berdasarkan izin.
2) Tidak berdagang kecuali perdagangan yang di izinkan pemilik modal, karena pengusaha tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan tanpa lisensi dari pemilik modal.
3) Tidak membeli barang melebihi modal dasar, karena izin diberikan sesuai besaran modal dasar.
2.3. Musaqah
2.3.1. Definisi dan Dasar Hukum Musaqah
Menurut bahasa, musaqah di ambil dari kata dasar as-saqyu (pengairan).
Menurut syara’, musaqah adlah kerjasama perawatan tanaman, seperti menyirami dan lain sebagainya dengan perjanjian bagi hasil atas buah atau manfaat yang dihasilkan.
Dasar hukum musaqah adalah sabda Rasulullah SAW. yang artinya: Ibn Umar r.a. berkata. Nabi Saw. menyerahkan sawah ladang dan tegal di Khaibar kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa kurma atau buah dan tanaman, maka Nabi SAW. memberi isteri-isterinya seratus wasaq (I wasaq = 60 sha 1 sha' - 4 mud atau 2 1/2 kg), delapan puluh wasaq kurma tamar, dan dua puluh wasaq sya'ier (jawawut). Kemudian di masa Umar r.a. membebaskan kepada isten isteri Nabi SAW. untuk memilih apakah minta tanahnya atau tetap minta bagian wasaq itu, maka di antara mereka ada yang memilih tanah dan ada yang minta bagian hasilnya berupa wasaq. A'isyah r.a. telah memilih tanah. (HR. Bukhari, Muslim).
2.3.2. Rukun dan Persyaratan Musaqah
Rukun-rukun musaqah menurut jumhur ulama ada lima :
1) Sighat, (ungkapan) ijab dan qabul;
2) Al-aqidain, dua orang pihak yang melakukan transaksi;
3) Obyek al-musaqah, yang terdiri atas pepohonan yang berbuah baik berbuahnya dalam bentuk tahunan atau juga setahun sekali, seperti padi, jagung, dll;
4) Ketentuan mengenai pembagian hasil dari musaqah tersebut;
5) Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dipekerjakan.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah yang menjadi rukun dalam musaqah itu hanyalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
1) Ucapan yang dilakukan kadang jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah), disyaratkan shigat itu dengan lafazd dan tidak cukup dengan perbuatan saja;
2) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus yang mampu dalam bertindak yaitu dewasa (akil baligh) dan berakal;
3) Dalam obyek al-musaqah terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut Hanafiyah yang menjadi obyeknya adalah pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur dan terong atau pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi. Menurut ulama Malikiyah mengatakan bahwa obyeknya adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, anggur, terong dan apel, dengan syarat bahwa: (a) Akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak panen; (b) Tenggang waktu yang ditentukan harus jelas; (c) Akad dilakukan setelah tanaman itu tumbuh; (d) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengelola dan memelihara tanaman itu. Menurut Hanabilah yang boleh dijadikan obyek al-musaqah adalah tanaman yang yang buahnya boleh dikonsumsi, maka dari itu al-musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak berbuah. Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek itu adalah kurma dan anggur saja. Sebagaimana terlampir dalam hadist Rasulullah SAW yang artinya : Rasulullah Saw. menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada Yahudi dengan ketentuan sebagian hasilnya, baik dari buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi mililk orang Yahudi itu;
4) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemiliknya;
5) Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi menjadi dua, atau tiga, dsb;
6) Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi ijarah ( sewa menyewa ).
2.3.4. Perbedaan Al-Musaqah Dengan Al-Muzara’ah
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan antara al-musaqah dengan al-muzara’ah, yaitu:
1) Jika salah satu pihak dalam akad al-musaqah tidak mau melaksanakan hal-hal yang telah disetujui dalam akad, maka yang bersangkutan boleh dipaksa untuk melaksanakan kesepakatan itu. Berbeda dengan akad al-muzara’ah, bahwa jika pemilik benih tidak mau kerjasama dalam menuaikan benih maka ia tidak boleh dipaksa. Menurut jumhur ulama, akad al-musaqah itu bersifat mengikat kedua belah pihak. Beda dengan al-muzara’ah yang sifatnya baru mengikat jika benih sudah disemaikan, apabila benih belum disemaikan, maka pemilik boleh saja untuk membatalkan perjanjian itu. Berbeda dengan pendapat Hanabilah yang mengatakan bahwa akad al-musaqah dan al-muzara’ah itu merupakan akad yang tidak mengikat kedua belah pihak, oleh karena itu boleh saja salah satu pihak yang melakukan akad membatalkan;
2) Menurut Hanafiyah penentuan waktu dalam al-musaqah itu bukanlah salah satu syarat, penentuan lamanya akad itu berlangsung disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. Sedangkan dalam akad al-muzaraah itu dalam penentuan waktu, ada dua pendapat. Menurut Hanafi; pertama disyaratkannya tenggang waktu, dan kedua tidak disyaratkan;
3) Apabila tenggang waktu yang disetujui dalam akad al-musaqah berakhir, akad dapat terus dilanjutkan tanpa ada imbalan terhadap petani penggarap. Sedangkan dalam akad al-muzara’ah bila tenggang waktu telah habis dan tanaman belum juga panen, maka petani penggarap melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima upah dari hasil bumi yang dipetik.
2.3.5. Berakhirnya Akad Al-Musaqah
Menurut para ulama berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
1) Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
2) Salah satu pihak meninggal dunia;
3) Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak :
Ulama Malikiyah: bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani.
Ulama Syafi’iyah: bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
Ulama Hanabilah: akad musaqah sama dengan akad muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.
2.4. Muzara’ah dan Mukhabarah
2.4.1. Definisi, Perbedaan dan Ketentuan Hukum Muzara’ah dan Mukharabah
Muzara’ah adalah akad penggarapan tanah kosong produktif dengan sistem bagi hasil yang disepakati bersama, yang benih tanamannya ditanggung oleh pemilik tanah. Sebaliknya, jika benih tanaman ditanggung oleh penggarap ia disebut mukhabarah.
Menurut pengikut Mazhab Syafi’i, hukum muzara’ah dan mukhabarah adalah batal, karena keduanya dilarang untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا فَذَكَرْتُهُ
Artinya: ...Rafi' bin Khudaij berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang muzara'ah....” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majjah)
2.4.2. Dasar Hukum Muzara’ah yang di Ikutsertakan dengan Masaqah
Para pengikut Mazhab Syafi’i secara bulat memperbolehkan akad muazara’ah yang di ikutsertakan dengan akad musaqah. Misalnya disekitar tanaman kurma atau anggur ada tanah kosong, lalu akad mazara’ah atas lahan kosong dilakukan bersamaan dengan akad atas pohon kurma atau anggur tersebut hukumnya sah. Sementara itu akad mukhabarah hukumnya batal secara mutlak.
Muzara’ah yang di ikutsertakan dengan musaqah harus memenuhi lima persyaratan berikut:
1) Pelaksana tugas dalam akad kedua akad tersebut harus orang atau sekelompok orang yang sama. Sehingga apabila pemilik mengadakan akad musaqah dengan satu pihak dan akad muzara’ah dengan pihak lain lagi, maka hukumnya tidak sah.
2) Kesulitan memisahkan perawatan pohon kurma atau anggur, dan mengolah lahan kosng (muzara’ah) karena adanya saluran air dalam tanah dan pengolahan tanah sangat bermanfaat buat pohon kurma. Namun apabila keduanya dapat dipisah, muzara’ah tidak diperbolehkan karena tidak diperlukan lagi.
3) Kedua pihak yang berakad tidak memisahkan pelaksanaan kedua akad tersebut, bahkan kedua akad itu harus dilakukan berkelanjutan agar sifat keikutsertaan dapat terpenuhi.
4) Pemilik tidak mengadakan akad muzar’ah lebih dahulu dai akad musaqah, karena status muzara’ah adalah mengikuti. Sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang di ikuti.
5) Harus menjelaskan jenis tanaman yang akan ditanam.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari semua uraian di atas, dapat kita peroleh gambaran bahwa agama Islam benar-benar merupakan tuntunan hidup yang sempurna, tiddak ada satu pun sendi kehidupan yang lepas dari pengaturan Islam. Hal ini semakin menegaskan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, karena ia benar-benar merupakan rahmat bagi semesta.
Semua hukum dalam Islam hanya mencerminkan satu hal, yakni kemaslahatan umat, walaupun terkadang di ingkari oleh orang-orang dungu mengikut hawa nafsu, namun itu tidak menutup atau menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
3.2. Saran
Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah ta’ala, kami sebagai manusia biasa tentulah tak lepas dari kekurangan, termasuk pula makalah yang kami tulis ini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dari semua pihak demi perbaikan pada penulisan makalah kami di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah, Syamsuddin. 1995. Fathul Qarib (Bag-II. Terj. Abu H.F. Ramadhan, B.A). Surabaya: Mutiara Ilmu
Zuhaili, Wahbah. 2010. Al-Fqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar (Terj: Muhammad Afifi & Abdul Hafiz), Cet. I. Jakarta: Almahira.