Berisi makalah Mata Kuliah Qur'an Hadits, Ulumul Qur'an, Pendidikan Agama Islam, Aqidah Akhlak, Materi & Ushul Fiqh, Psikologi, Ekonomi Syariah, Bahasa Indonesia, Media Pembelajaran, Metode dan Strategi Pembelajaran, Metodologi Penelitian, Desain Pembelajaran dan lainnya. (Dalam beberapa makalah terlihat ada simbol-simbol aneh, itu adalah ayat Al-Qur'an, jika perangkat anda terinstall teks arab, maka ketika di download atau copas ke perangkat anda ayatnya akan muncul).
Sunday, December 28, 2014
Sunday, December 21, 2014
Saturday, December 20, 2014
Thursday, December 18, 2014
Tuesday, December 16, 2014
Makalah Teori-Teori dalam Bimbingan Konseling
MATA KULIAH BIMBINGAN DAN KONSELING
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Selama ini pelaksanaan konseling di sekolah lebih banyak berdasarkan atas konsep Barat yang berorientasi kepada 4 hal, yaitu diri sendiri (self), hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan alam, serta untuk masalah kini. Hal ini sesuai dengan pandangan hidup Barat yang sekularistik-materialistik, maka layanan konseling dianggapnya sebagai hal yang semata-mata masalah keduniaan.
Konsep layanan konseling Barat pada umumnya tidak membahas dan tidak mengaitkan diri dengan pahala dan dosa. Masalah pahala dan dosa itu merupakan masalah yang berada di luar ruang lingkupnya. Sedangkan kenyataan orang yang beragama, masalah pahala dan dosa itu merupakan hal yang selalu hidup dalam dunia bathinnya dan mempengaruhi serta mengarahkan gerak perilakunya. Seorang muslim yang baik selalu berusaha untuk memperoleh ridha dan karunia Allah yang berwujud pahala, dan selalu berusaha menjauhi larangan Allah SWT.
1.2. Rumusan Masalah
a. Jelaskan beberapa teori dalam bimbingan dan konseling!.
b. Bagaimana bimbingan dan konseling dalam pandangan Islam?
1.3. Tujuan Penulisan
Bimbingan dan konseling memainkan peranan penting dalam sejarah kehidupan manusia. Ia telah ada sepanjang keberadaan manusia di muka bumi ini, meski belum dinamai bimbingan dan konseling. atas peran penting bimbingan dan konseling tersebut, maka dalam makalah ini kami sajikan beberapa teori mengenai bimbingan konseling serta bagaimana pandangan Islam terhadapnya, dengan harapan makalah dapat membantu memperluas wawasan pembaca mengenai bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori-Teori dalam Bimbingan Konseling
Lahirnya suatu teori mempunyai kaitan dasar pribadi, sosiologis, dan filosofis. Ciri khas yang ditampilkan oleh beragam teori sangat dipengaruhi oleh kepribadian pembuatnya, kehidupan dan lingkungan sekitarnya, serta cara pandang pengarang dalam berfilsafat.
1. Teori Trait dan Faktor
a. Konsep Pokok
Teori ini biasa disebut sebagai teori directive counseling karena konselor diposisikan sebagai pihak yang paling aktif dalam membantu klien mengarahkan perilakunya kepada pemecahan kesulitannya. Jadi konseling ini bisa diartikan sebagai counseling centred atau konseling yang berpusat pada konselor. Menurut teori ini, kepribadian individu adalah suatu sistem sifat yang berarti antara satu faktor dengan faktor lainnya saling berkaitan.
b. Proses Konseling
Terdapat enam tahap pokok dalam teori ini, yaitu:
1) Tahap Analisis
Yaitu tahap dimana konselor mengumpulkan data-data dan informasi yang berhubungan dengan klien.
2) Tahap Sintesis
Tahap ini konselor mengatur dan merangkum data klien sehingga ditemukan kelemahan, kekuatan, bakat, dan kemampuan penyesuaian dirinya.
3) Tahap Diagnosis
Yaitu langkah menarik kesimpulan logis dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi klien. Terdapat 3 kegiatan yaitu mengidentifikasi masalah, merumuskan sumber penyebab masalah (etiologi) dan prognogis.
4) Prognosis
Yaitu upaya memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi berdasarkan data yang diperoleh.
5) Tahap Konseling
Yaitu proses pemberian bantuan dengan cara dilakukan pengembangan alternative pemecahan masalah, pengujian alternative, dan pengambilan keputusan.
2. Teori yang Berpusat Pada Klien
a. Konsep pokok
Menurut Rogers, konstruk inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau perwujudan diri. Dikatakan bahwa konsep diri atau struktur diri dapat di pandang sebagai konfigurasi konsepsi yang terorganisasikan tentang diri yang membawa kesadaran.
b. Proses Konseling
Pendekatan yang berpusat pada klien menggunakan sedikit tekhnik, akan tetapi menekankan sikap konselor. Tehknik dasar adalah mencakup, mendengar, dan menyimak secara aktif, refleksi, klarifikasi, “being here” bagi klien.
3. Psychonalysis Teraphy
a. Pengertian Psychonalysis Teraphy
Pendekatan psikoanalisis menganggap bahwa tingkah laku abnormal di sebabkan oleh faktor-faktor intropsikis (konflik tidak sadar, represi, mekanisme defensif) yang menggangu penyesuaian diri. menurut Sigmund Freud, esensi pribadi seseorang bukan terletak pada apa yang ia tampilkan secara sadar, melainkan apa yang tersembunyi dalam ketidaksadarannya. Freud beranggapan bahwa gangguan jiwa pada orang dewasa, pada umumnya berasal dari pengalaman pada masa kanak-kanak.
b. Teknik Konseling
Ada lima teknik dasar dalam terapi psikoanalisa yaitu:
1) Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas adalah suatu metode pengungkapan pengalaman masa lampau dan penghentian emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik di masa lalu. Pada teknik asosiasi bebas ini, konselor memerintahkan klien untuk menjernihkan pikirannya dari pemikiran sehari-sehari dan sebanyak mungkin untuk mengatakan apa yang muncul dalam kesadarannya.
2) Interpretasi (Penafsiran)
Interpretasi adalah prosedur dasar yang digunakan dalam analisis asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi, dan analisis transparansi. Prosedurnya terdirir atas penetapan analisis, penjelasan, dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resisten dan hubungan terapeutik itu sendiri.
3) Analisis mimpi
Mimpi dipandang sebagai jalan utama menuju ke alam tak sadar. Karena mimpi juga diartikan sebagai pemuasan yang melambangkan dari keinginan-keinginan dan sebagian besar isinya mencerminkan pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak awal. Dari analisis mimpi tersebut konselor dapat memahami konflik yang dihadapi oleh klien.
4) Analisis Resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang resistensi sebagai suatu dinamika yang tidak disadari yang mendorong seseorang untuk mempertahankan terhadap kecemasan. Hal ini akan timbul bila orang menjadi sadar terhadap dorongan dan perasaan yang tertekan.
5) Analisis Transferensi
Transferensi merupakan cara kerja dari pertahanan ego dimana implus yang bersifat tak sadar dialihkan sasarannya dari obyek yang satu ke obyek yang lainnya. Transferensi ini muncul disebabkan karena pasien mengalihkan sasaran perasaan cinta atau bencinya atas seseorang kepada konselor. Menurut Freud, setelah pasien mengetahui arti sesungguhnya dari hubungan transferensi dengan konselornya, pasien akan memperoleh pemahaman atas pengalaman-pengalaman dan perasaan masa lalunya, serta menghubungkan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan masa lalunya tersebut dengan kesulitan-kesulitan yang dialaminya sekarang.
4. Teori Terapi Gestalt
a. Konsep Dasar Teori Gestalt
Konsep dasar Gestalt lebih menekankan pada pada apa yang dialami oleh klien saat ini daripada hal-hal yang pernah dialami oleh klien, dengan kata lain, Gestalt lebih memusatkan pada bagaimana klien berperilaku, berpikiran dan merasakan pada situasi saat ini (here and now) sebagai usaha untuk memahami diri daripada mengapa klien berperilaku seperti itu.
b. Karakteristik Proses Konseling Teori Gestlat
1) Fase pertama: membentuk pola pertemuan terapeutik agar tercapai situasi yang memungkinkan perubahan – perubahan yang diharapkan pada klien. Situasi mengandung komponen emosional dan intuitif.
2) Fase kedua: melaksanakan pengawasan, konselor berusaha meyakinkan atau memaksa klien mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan keadaan klien. Dua hal yang harus dilakukan: (a) Menimbulkan motivasi pada klien. (b) Menciptakan rapport yaitu hubungan baik antara konselor dan klien agar timbul rasa percaya klien bahwa segala usaha konselor itu disadari benar oleh klien untuk kepentingannya.
3) Fase ketiga : klien didorong untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada pertemuan-pertemuan terapi saat ini, bukan menceritakan masa lalu atau harapan-harapan masa datang.
4) Fase terakhir : setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang dirinya, tindakannya, perasaannya, maka terapi ada pada fase terakhir. Pada fase ini klien harus memiliki ciri-ciri yang menunjukan integritas kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi. Klien harus memiliki kepercayaan pada potensinya. Menyadari dirinya, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perbuatannya, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya.
c. Teknik Dalam Pendekatan Gestlat
1) Enchancing awareness, yaitu klien dibantu untuk berada pada pengalamannya sekarang secara sadar.
2) Personality pronous, yaitu klien diminta untuk mempribadikan pikirannya untuk meningkatkan kesadaran pribadinnya.
3) Changing question to statements, yaitu mendorong klien untuk menggunakan pernyataan-pernyataan dari pada petanyaan yang mendorong untuk mengekspresikan dirinya dan bertanggung jawab bagi komunikasinya.
4) Assuming responsibility, yaitu klien diminta untuk mengalihkan penggunaan kata “ tidak ingin” menjadi “tidak dapat”.
5) Asking ‘how” and “what”, yaitu bertanya “mengapa” dapat lebih membawa kearah aktualisasi daripada mengalami dan memahami. “bagaimana” dan “apa” menjadikan individu masuk kedalam pengalaman perilakunya sendiri.
6) Sharing hunches, yaitu mendorong klien untuk mengeksplorasi dari dengan menanamkan tilikan seperti “saya lihat” atau “saya dapat bayangkan”
7) Bringing the past into the now, yaitu membantu klien agar mengalami pengalaman masa lalu dalam situasi sekarang.
8) Expressing resentments and appreciationts, yaitu membantu klien untuk mengidentifikasi dan menyatakan keadaan dan penghargaan dirinya.
9) Using body expression, yaitu mengamati ekspresi badan klien dan memusatkan perhatian untuk membantu kesadaran individu.
5. Teori Rational Emotive Therapy (RET)
a. Pengertian Rational Emotive Therapy (RET)
Pelopor dan peletak dasar konseling ini adalah Albert Ellis. RET atau yang lebih dikenal dengan rational emotive behavior therapy (REBT) adalah konseling yang menekankan dan interaksi berfikir dan akal sehat (rasional thingking), perasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku.
b. Konsep Dasar RET
Konsep dasar teori ini adalah bahwa pola berpikir manusia itu sangat dipengaruhi oleh emosi, demikian pula sebaliknya. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan atau sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang instrinsik. Sedangkan pikiran – pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu pikiran seseorang.
6. Teori Konseling Behavioristik
Teori ini dikembangkan oleh Arnold Lazarus (lahir 1932). Behaviour Therapy and Beyond merupakan salah satu buku dari buku-buku awal Lazarus yang membicarakan terapi behavioral-kognitif, yang secara berturut-turut menjadi pendekatannya yang sistematis dan komprehensif.
a. Pendekatan Behavioristik
Pendekatan Behavioristik memiliki tiga karakteristik yakni pemecahan masalah (problem solving), pendekatan perubahan terfokus (change focused approach) untuk menghadapi klien, penghormatan terhadap nilai ilmiah; dan memiliki perhatian yang lebih terhadap proses kognitif – alat untuk mengontrol dan memonitor tingkah laku mereka.
b. Proses konseling
Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980,190), konseling behavioral merupakan suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan tertentu. Konselor berperan membantu dalam proses belajar dengan menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya. Sedangkan pemahaman diperlukan pada saat membentuk pengalaman belajar.
Metode yang dapat digunakan menurut Krumboltz adalah:
1) Pendekatan Operant learning. Dalam pendekatan ini, hal yang terpenting adalah penguatan (reinforcement) yang dapat menghasilkan perilaku klien yang dikehendaki.
2) Metode unitative learning atau social modeling. Dalam metode ini diterapkan oleh konselor dengan merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan model oleh klien.
3) Metode cognitive learning merupakan metode yang berupa pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien dan bermain peran.
4) Metode emotional learning diterapkan pada individu yang mengalami suatu kecemasan.
2.2. Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif Islam
Bimbingan Konseling dalam Islam adalah suatu proses pemberian bantuan secara terus menerus dan sistematis terhadap individu atau sekelompok orang yang sedang mengalami kesulitan lahir dan batin untuk dapat memahami dirinya dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya sehingga dapat hidup secara harmonis sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya demi tercapainya kebahagiaan duniawiah dan ukhrawiah.
Dalam pandangan Islam, beranjak dari pengertian bahwa bimbingan dan konseling sebagai proses pemberian bantuan, maka aktivitas layanan konseling itu merupakan suatu ibadah, berkaitan erat dengan pengabdiannya kepada Allah SWT. Suatu bantuan kepada orang lain, sebagaimana layanan konseling dalam ajaran Islam dihitung sebagai suatu shadaqah (sedekah). Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: ”Tiap muslim wajib bersedekah”. Sahabat bertanya, ”Jika tidak dapat?”Jawab Nabi: ”Bekerja dengan tangannya yang berguna bagi dirinya dan bersedekah.” Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?” Jawab Nabi: ”Membantu orang yang sangat berhajat”. Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?”jawab nabi : ”Menganjurkan kebaikan”. Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?” Jawab Nabi: ”Menahan diri dari kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam pandangan Islam, beranjak dari pengertian bahwa bimbingan dan konseling sebagai proses pemberian bantuan, maka aktivitas layanan konseling itu merupakan suatu ibadah, berkaitan erat dengan pengabdiannya kepada Allah SWT. Suatu bantuan kepada orang lain, sebagaimana layanan konseling dalam ajaran Islam dihitung sebagai suatu shadaqah (sedekah). Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: ”Tiap muslim wajib bersedekah”. Sahabat bertanya, ”Jika tidak dapat?”Jawab Nabi: ”Bekerja dengan tangannya yang berguna bagi dirinya dan bersedekah.” Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?” Jawab Nabi: ”Membantu orang yang sangat berhajat”. Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?”jawab nabi : ”Menganjurkan kebaikan”. Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?” Jawab Nabi: ”Menahan diri dari kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).
Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling dalam Islam dapat dirumuskan untuk membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sedangkan tujuannya secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:
a. Untuk menghasilkan suatu perbuatan, perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai, bersikap lapang dada dan mendapatkan pencerahan taufik dan hidayah Tuhannya.
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong-menolong dan rasa kasih sayang.
d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintahNya serta ketabahan menerima ujianNya.
e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi itu individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar; ia dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan hidup; dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan.
f. Untuk mengembalikan pola pikir dan kebiasaan konseli yang sesuai dengan petunjuk ajaran islam (bersumber pada Al-Quran dan paradigma kenabian.
Sementara itu, Aunur Rahim Faqih membagi tujuan Bimbingan dan Konseling Islam dalam tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umumnya adalah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Tujuan khususnya adalah:
a. Membantu individu agar tidak menghadapi masalah
b. Membantu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapinya
c. Membantu individu memlihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau yang tetap baik menjadi tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Lahirnya suatu teori mempunyai kaitan dasar pribadi, sosiologis, dan filosofis. Ciri khas yang ditampilkan oleh beragam teori sangat dipengaruhi oleh kepribadian pembuatnya, kehidupan dan lingkungan sekitarnya, serta cara pandang pengarang dalam berfilsafat.
Berikut beberapa teori mengenai bimbingan dan konseling: Teori Trait dan Faktor, Teori yang Berpusat Pada Klien, Psychonalysis Teraphy, Teori Terapi Gestalt, Teori Rational Emotive Therapy (RET) dan Teori Konseling Behavioristik.
Dalam pandangan Islam, aktivitas layanan konseling itu merupakan suatu ibadah, berkaitan erat dengan pengabdiannya kepada Allah SWT. Suatu bantuan kepada orang lain, sebagaimana layanan konseling dalam ajaran Islam dihitung sebagai suatu shadaqah (sedekah).
Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling dalam Islam dapat dirumuskan untuk membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
3.2. Saran
Makalah ini kami sajikan secara ringkas dan padat, sehingga tidak dapat untuk menjelaskan secara detail dan menyeluruh. Untuk itu kami menyarankan kepada para pembaca yang ingin lebih memahaminya untuk mencari sumber-sumber tambahan sekaligus pembanding dari yang telah kami sajikan.
Wednesday, December 10, 2014
Makalah Kemajemukan Agama, Ras dan Etnik
MATA KULIAH KONSEP DASAR IPS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keragaman manusia bukan berarti manusia itu bermacam-macam atau berjenis - jenis seperti halnya hewan atau tumbuh - tumbuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan tetaplah berjenis satu. Keragaman manusia yang dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan, seperti perbedaan agama, ras dan etnis.
Perbedaan itu ada karena manusia adalah makhluk individu yang setiap individu memiliki latar kehidupan dan ciri-ciri khas tersendiri.
1.2. Rumusan Masalah
a. Jelaskan pengertian kemajemukan agama, ras dan etnik!.
b. Apa yang di maksud dengan kemajemukan agama?
c. Apa yang di maksud dengan kemajemukan ras?
d. Dan apa pula yang di maksud dengan kemajemukan etnik?
1.3. Tujuan Penulisan
Sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, sangatlah penting bagi kita untuk memahami kemajemukan yang ada ditengah masyarakat. Untuk memberikan pemahaman itulah maka makalah ini kami sajikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kemajemukan Agama, Ras dan Etnik
Selain makhluk individu, manusia juga makhluk sosial yang membentuk kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup manusia juga beragam. Masyarakat sebagai persekutuan hidup itu berbeda dan beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam ras, suku, agama, budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin, daerah tempat tinggal, dan lain-lain. Hal yang demikian kita katakan sebagai unsur-unsur yang membentuk kemajemukan dalam masyarakat.
Kemajemukan asal katanya adalah majemuk, yang berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman, heterogenitas, pluralitas dan kehomogenan; homogenitas.
Dengan demikian, kemajemukan agama, ras dan etnik dapat di artikan sebagai keanekaragaman agama, ras dan etnik.
2.2. Kemajemukan Agama
2.2.1. Makna Kemajemukan Agama
Kemajemukan agama (baca: pluralisme agama) merupakan salah satu isu sentral di tengah diskursus pemikiran Islam (Islamic thought). Isu ini semakin dirasakan mendesak setelah umat beragama mendapati bahwa dunia telah berubah menjadi sebuah desa global (global village). Kesan setiap penganut agama terisolasi dari penganut agama lain tergeser menjadi anggota masyarakat majemuk yang berdampingan dan saling berinteraksi. Karena itu, kehadiran umat lain (al-akhar) harus dianggap sebuah potensi ketimbang ancaman yang dapat merusak masyarakat.
Belajar dari perputaran roda sejarah masa lalu dimana umat beragama saling membunuh dan saling curiga, kini umat beragama diarahkan bagaimana ia memandang positif eksistensi umat beragama lain dan mengikis benih-benih kecurigaan itu. Pertumpahan darah atas nama Tuhan yang pernah terjadi dialihkan kepada persaudaraan kemanusiaan dalam kasih sayang-Nya. Kemajemukan agama tidak hanya sebatas pengakuan akan adanya kehadiran umat beragama lain, tapi juga kesediaan untuk menjalin kerjasama sosial demi tertatanya sebuah masyarakat yang harmonis dan religius.
Kemajemukan agama adalah hal yang tak bisa dihindari terutama di Indonesia dan untuk menjaga hubungan yang harmonis, setiap orang harus saling menghormati. Signifikansi kemajemukan agama ini seringkali mendapati batu sandungan dari pihak-pihak tertentu yang secara keliru memahaminya. Tidak sedikit pihak yang menyatakan bahwa kemajemukan agama berarti menyamakan semua agama, atau menyatukan semua agama dalam sebuah ikatan keyakinan baru (sinkretisme agama). Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, kemajemukan memiliki makna yang amat luas termasuk di dalamnya kerjasama umat beragama dan saling belajar akan kelebihan masing-masing.
2.2.2. Pentingnya Kemajemukan Agama
Sedikitnya terdapat tiga karakteristik seseorang dalam menganut sebuah agama; pertama, eksklusif. Sikap ini menyatakan bahwa agamanya sajalah yang merupakan sumber kebenaran. Tidak demikian halnya dengan agama-agama lain; kedua, inklusif. Sikap ini menyatakan bahwa kebenaran tertinggi ada di dalam agamanya. Namun demikian di dalam agama-agama lain juga terdapat kebenaran; ketiga, pluralis/ paralel. Sikap ini menyatakan bahwa dalam setiap agama terdapat kebenaran yang juga diajarkan oleh agama yang dianutnya.
Kecuali sikap kedua dan ketiga,sikap pertama menunjukkan ketidaksiapan seseorang melihat realita yang sesungguhnya. Selain menyatakan bahwa agamanya sajalah yang merupakan sumber kebenaran tunggal, ia juga menafikan munculnya kebenaran dari sumber-sumber lain. Sikap demikian tidak saja berbahaya, tapi juga melahirkan kesan seolah-olah dunia hanya terdiri dari satu warna.
Ekspresi keberagamaan yang lebih lunak ditunjukkan pada sikap yang kedua dan ketiga. Kesan yang ditawarkan kedua sikap ini menunjukkan bahwa pluralitas keyakinan adalah sebuah kenyataan sosiologis yang tak mungkin dihindari. Karena itu, tujuan utama seorang penganut agama bukan untuk melakukan uniformisasi atas kenyataan yang terbentang di depan mata, melainkan apa nilai tambah yang dapat digali dari keragaman keyakinan dan tradisi keagamaan itu. Darah hitam sejarah sebagai konsekuensi dari uniformisasi adalah cermin kelabu bagi kita agar tidak terjadi kembali. Tidak sedikit umat beragama saling membunuh satu sama lainnya karena semua merasa sebagai satu-satunya pemilik sah kebenaran Tuhan dan berkewajiban menyelamatkan seluruh manusia. Sikap inklusif maupun tadi bukan untuk memperlemah keimanan yang kita miliki, sebaliknya ia akan menjadi salah satu elemen penguat keimanan kita. Bukti kuatnya keimanan seseorang tidak ditunjukkan dengan klaim kebenaran (truth claim) yang dimilikinya dan tuduhan kesesatan atas keyakinan orang lain, melainkan sejauh mana kehadirannya dapat mengatasi nestapa semua mahluk Tuhan, baik mahluk bernyawa ataupun benda mati.
Kemajemukan agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama sama, untuk selanjutnya setiap orang dapat berpindah agama ketika bosan dengan agama terdahulu. Anggapan ini keliru, sebab kemajemukan agama tidak membenarkan adanya pencampuradukan agama atau mengizinkan pindah-pindah agama. Kemajemukan agama juga tidak hendak menegaskan bahwa semua penganut agama (apapun bentuknya) dapat dibenarkan. Untuk itu, kemajemukan agama dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, bukan hanya pengakuan akan adanya umat lain (the other) tapi juga keterpanggilan jiwa untuk menjalin kerjasama antar sesama pemeluk agama, bahkan ateissekalipun. Kedua, bukan kosmopolitanisme dimana agama hidup secara berdampingan tapi tidak saling belajar apalagi bekerjasama. Ketiga,bukan relativisme yang mana semua agama dianggap benar karena penghargaan kepada penganutnya. Keempat, bukan sinkretisme dimana semua agama yang ada disatukan untuk kemudian melahirkan agama baru. Dengan substansi uraian tersebut, jelaslah bahwa kerjasama sosial antar penganut agama juga disebut pluralisme agama, istilah yang lebih populer untuk kemajemukan agama. Selain itu, batasan ini juga berfungsi untuk membantah berbagai pihak yang begitu emosional menolak istilah pluralisme agama sebelum mendudukkannya secara tepat.
Dengan demikian kemajemukan agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat majemuk, beraneka ragam dan terdiri dari berbagai suku dan agama. Hal itu justru hanya akan menggambarkan fragmentasi, bukan kemajemukan. Kemajemukan agama juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Kemajemukan agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan kemajemukan agama adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia. Hal itu bahkan mendorong lahirnya sebuah kesadaran baru dalam beragama seperti; to be religious is to be interreligious (beragama berarti membangun hubungan dengan penganut agama lain).
Ada banyak cara untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama dalam rangka menyikapi kemajemukan agama terutama di Indonesia. Pertama-tama kita garus membangkitkan pengakuan dan kesadaran, kewajiban dan kebutuhan bersama serta cara-cara dan dasar-dasar untuk membangkitkan proses komitmen dan penyadaran.
2.2.3. Kemajemukan Agama dalam Perspektif Islam
Kesadaran teologis dan historis akan kemajemukan agama ini mendapat porsi yang besar dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal (QS. Al-Hujaraat/ 49: 13). Islam mengakui bahwa selain umat Islam juga ada umat beragama lain yang mesti dihargai (QS. Al-Maa’idah/ 5: 48). Islam juga meneguhkan bahwa keimanan merupakan pokok persoalan yang harus dijaga sampai kapanpun, tentu dengan catatan masing-masing pihak memberikan apresiasi (QS. Al-Kaafiruun/ 109: 1-5).
Keyakinan dalam beragama merupakan urusan masing-masing person dan tidak boleh dipaksakan (QS. Al-Baqarah/ 2: 256). Bahkan Mohamed Talbi dalam tulisannya, Religious Liberty (1998), menjelaskan bahwa diantara teks-teks wahyu lain hanya al-Qur’an yang menekankan secara tegas perihal kebebasan beragama ini. Selanjutnya al-Qur’an menyatakan bahwa seburuk apapun sembahan yang dimiliki non Muslim tidak boleh dicerca oleh kaum Muslimin (QS. Al-An’Aam/ 6: 108).Beberapa teks keagamaan itu mendasari seluruh hubungan antara kaum Muslimin dan non Muslim. Dengan demikian, kemajemukan adalah sesuatu yang menjadi ajaran penting dalam Islam.
Setiap penganut agama (khususnya Muslim) harus sadar bahwa ia hadir bersamaan dengan “orang lain”. Setiap orang bukan hanya memiliki satu identitas, melainkan multi identitas. Setiap identitas akan saling menyapa satu sama lainnya. Rasulullah juga mencanangkan semangat kemajemukan beragama ini. Ketika di Madinah misalnya, beliau mencetuskan Piagam Madinah (Miytsaq al-Madinah) yang memberikan jaminan kebebasan beragama baik Muslim, Yahudi maupun Musyrik Madinah. Hal serupa juga dilakukan Umar bin Khattab dengan membuat Piagam Aelia yang menjamin keamanan, penghargaan terhadap tempat ibadah dan kebebasan beribadah bagi kaum Nashrani. Disini terlihat jelas bahwa kemajemukan agama mengambil posisi penting dalam ajaran Islam.
2.3. Kemajemukan Ras
2.3.1. Pengertian Ras
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan Italia, yaitu razza. Pertama kali istilah ini diperkenalkan Franqois Bernier, antropologi prancis untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atau biologis.
Ras adalah kategori individu yang secara turun-temurun memiliki ciri fisik dan biologis tertentu. Manusia di dunia pasti memiliki perbedaan fisik seperti warna kulit, bentuk hidung, bentuk rambut, dan sebagainya antara manusia lainnya dimuka bumi.
Ciri-ciri yang menjadi identitas dari ras bersifat objektif atau somatic. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.Perbedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik fisik yang penting. Meskipun terdapat beberapa pengecualian, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak fungsional.Perbedaan fisik pada makhuk manusia sangat sedikit, jika dibandingkan dengan perbedaan fisik yang terdapat pada banyak makhluk hidup lainnya, misalnya anjing dan kuda.
Kebanyakan ilmuwan dewasa ini sependapat bahwa semua kelompok ras termasuk dalam satu rumpun yang merupakan hasil dari suatu proses evolusi, dan semua kelompok ras kurang lebih sama kadar kemiripannya dengan hewan lainnya.
2.3.2. Klasifikasi Ras di Dunia
Di dunia ini dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu:
a. Kaukasoid
b. Negroid
c. dan Mongoloid.
2.3.3. Ras atau Sub-Ras di Indonesia
Adapun ras atau subras yang mendiami kepulauan Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Papua melanesoid yang mendiami wilayah Papua, Aru, dan Kai.
b. Weddoid yang mendiami daerah Sumatra bagian barat laut.
c. Malayan Mongoloid yang meliputi Proto Melayu.
d. Negroid yang mendiami pegunungan Maoke Papua.
e. Asiatic Mongoloid yang terdiri atas keturunan Tionghoa dan Jepang yang tinggal di Indonesia.
f. Kaukasoid terdiri atas keturunan Belanda, Inggris, keturunan Arab, India, Pakistan yang tinggal di Indonesia.
2.4. Kemajemukan Etnik
2.4.1. Pengertian Etnik
Sementara itu pengertian dari etnik dari berbagai sumber ialah adalah:
a. Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
b. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
c. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.
2.4.2. Pola-pola Hubungan antar Etnik
Pola hubungan antar etnik masing-masing ditandai oleh spesifikasi dalam proses kontak sosial yang terjadi, yaitu akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme dam integrasi. Hal ini di ungkapkan secara panjang lebar oleh Michael Banton pada tahun 1967.
Adapun pengertiannya adalah sbb:
a. Akulturasi akan terjadi apabila dua kelompok etnik mengadakan kontak dan saling mempengaruhi.
b. Dominasi terjadi jika suatu kelompok etnik menguasi kelompok lain.
c. Paternalisme merupakan bentuk antar kelompok etnik yang menampakkan adanya kelebihan salah satu kelompok terhadap kelompok lain, tanpa adanaya unsur dominasi.
d. Pluralisme merupakan hubungan yang terjadi di antara sejumlah kelompok etnik, yang di dalamnya mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berkaitan.
e. Integrasi adalah pola hubungan yang menekankan persamaan dan bahkan saling mengintergasikan dari satu dengan yang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kemajemukan asal katanya adalah majemuk, yang berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman, heterogenitas, pluralitas dan kehomogenan; homogenitas. Dengan demikian, kemajemukan agama, ras dan etnik dapat di artikan sebagai keanekaragaman agama, ras dan etnik.
Kemajemukan agama adalah hal yang tak bisa dihindari terutama di Indonesia dan untuk menjaga hubungan yang harmonis, setiap orang harus saling menghormati.
Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.Perbedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Etnik adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.
3.2. Saran
Kami menyadrai bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, oleh sebab itu kami menyarankan kepada para pembaca untuk mencari sumber lain sebagai referensi tambahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Tt. Kemajemukan. Di akses dari http://kamus.sabda.orgpada tanggal 19 Oktober 2014 pukul 15:37 Wib.
Anonim. Tt. Kemajemukan Agama dan Cara Menghormatinya. Di akses dari http:// www.milagrosnews.com pada tanggal 18 Oktober 2014 pukul 11:26 Wib.
Anonim. 2013. Kemajemukan Agama di Indonesia dan Konflik. Di akses dari http:// stoents11.blogspot.com pada tanggal 19 Oktober 2014 pukul 16:10 Wib.
Anonim. 2010. Sosiologi. Di akses dari http://ramadhanitaufiksosiologi.blog spot.com pada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 08:49 Wib.
Iskandar. 2011. Etnis dan Suku Bangsa. Di akses dari http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.compada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 08:37 Wib.
Maula, Shinta Soviatul. 2013. Keanekaragaman Agama, Ras dan Etnik. Di akses dari http: //nta-valen sweety.blogspot.com pada tanggal 18 Oktober 2014 pukul 11:19 Wib.
Sukmaningsih, Nurul. 2011. Diferensiasi Sosial. Di akses dari http://aprianila fanty.blogspot.compada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 07:23 Wib.
Subscribe to:
Posts (Atom)