4) Analisis Resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang resistensi sebagai suatu dinamika yang tidak disadari yang mendorong seseorang untuk mempertahankan terhadap kecemasan. Hal ini akan timbul bila orang menjadi sadar terhadap dorongan dan perasaan yang tertekan.
5) Analisis Transferensi
Transferensi merupakan cara kerja dari pertahanan ego dimana implus yang bersifat tak sadar dialihkan sasarannya dari obyek yang satu ke obyek yang lainnya. Transferensi ini muncul disebabkan karena pasien mengalihkan sasaran perasaan cinta atau bencinya atas seseorang kepada konselor. Menurut Freud, setelah pasien mengetahui arti sesungguhnya dari hubungan transferensi dengan konselornya, pasien akan memperoleh pemahaman atas pengalaman-pengalaman dan perasaan masa lalunya, serta menghubungkan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan masa lalunya tersebut dengan kesulitan-kesulitan yang dialaminya sekarang.
4. Teori Terapi Gestalt
a. Konsep Dasar Teori Gestalt
Konsep dasar Gestalt lebih menekankan pada pada apa yang dialami oleh klien saat ini daripada hal-hal yang pernah dialami oleh klien, dengan kata lain, Gestalt lebih memusatkan pada bagaimana klien berperilaku, berpikiran dan merasakan pada situasi saat ini (here and now) sebagai usaha untuk memahami diri daripada mengapa klien berperilaku seperti itu.
b. Karakteristik Proses Konseling Teori Gestlat
1) Fase pertama: membentuk pola pertemuan terapeutik agar tercapai situasi yang memungkinkan perubahan – perubahan yang diharapkan pada klien. Situasi mengandung komponen emosional dan intuitif.
2) Fase kedua: melaksanakan pengawasan, konselor berusaha meyakinkan atau memaksa klien mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan keadaan klien. Dua hal yang harus dilakukan: (a) Menimbulkan motivasi pada klien. (b) Menciptakan rapport yaitu hubungan baik antara konselor dan klien agar timbul rasa percaya klien bahwa segala usaha konselor itu disadari benar oleh klien untuk kepentingannya.
3) Fase ketiga : klien didorong untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada pertemuan-pertemuan terapi saat ini, bukan menceritakan masa lalu atau harapan-harapan masa datang.
4) Fase terakhir : setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang dirinya, tindakannya, perasaannya, maka terapi ada pada fase terakhir. Pada fase ini klien harus memiliki ciri-ciri yang menunjukan integritas kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi. Klien harus memiliki kepercayaan pada potensinya. Menyadari dirinya, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perbuatannya, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya.
c. Teknik Dalam Pendekatan Gestlat
1) Enchancing awareness, yaitu klien dibantu untuk berada pada pengalamannya sekarang secara sadar.
2) Personality pronous, yaitu klien diminta untuk mempribadikan pikirannya untuk meningkatkan kesadaran pribadinnya.
3) Changing question to statements, yaitu mendorong klien untuk menggunakan pernyataan-pernyataan dari pada petanyaan yang mendorong untuk mengekspresikan dirinya dan bertanggung jawab bagi komunikasinya.
4) Assuming responsibility, yaitu klien diminta untuk mengalihkan penggunaan kata “ tidak ingin” menjadi “tidak dapat”.
5) Asking ‘how” and “what”, yaitu bertanya “mengapa” dapat lebih membawa kearah aktualisasi daripada mengalami dan memahami. “bagaimana” dan “apa” menjadikan individu masuk kedalam pengalaman perilakunya sendiri.
6) Sharing hunches, yaitu mendorong klien untuk mengeksplorasi dari dengan menanamkan tilikan seperti “saya lihat” atau “saya dapat bayangkan”
7) Bringing the past into the now, yaitu membantu klien agar mengalami pengalaman masa lalu dalam situasi sekarang.
8) Expressing resentments and appreciationts, yaitu membantu klien untuk mengidentifikasi dan menyatakan keadaan dan penghargaan dirinya.
9) Using body expression, yaitu mengamati ekspresi badan klien dan memusatkan perhatian untuk membantu kesadaran individu.
5. Teori Rational Emotive Therapy (RET)
a. Pengertian Rational Emotive Therapy (RET)
Pelopor dan peletak dasar konseling ini adalah Albert Ellis. RET atau yang lebih dikenal dengan rational emotive behavior therapy (REBT) adalah konseling yang menekankan dan interaksi berfikir dan akal sehat (rasional thingking), perasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku.
b. Konsep Dasar RET
Konsep dasar teori ini adalah bahwa pola berpikir manusia itu sangat dipengaruhi oleh emosi, demikian pula sebaliknya. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan atau sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang instrinsik. Sedangkan pikiran – pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu pikiran seseorang.
6. Teori Konseling Behavioristik
Teori ini dikembangkan oleh Arnold Lazarus (lahir 1932). Behaviour Therapy and Beyond merupakan salah satu buku dari buku-buku awal Lazarus yang membicarakan terapi behavioral-kognitif, yang secara berturut-turut menjadi pendekatannya yang sistematis dan komprehensif.
a. Pendekatan Behavioristik
Pendekatan Behavioristik memiliki tiga karakteristik yakni pemecahan masalah (problem solving), pendekatan perubahan terfokus (change focused approach) untuk menghadapi klien, penghormatan terhadap nilai ilmiah; dan memiliki perhatian yang lebih terhadap proses kognitif – alat untuk mengontrol dan memonitor tingkah laku mereka.
b. Proses konseling
Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980,190), konseling behavioral merupakan suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan tertentu. Konselor berperan membantu dalam proses belajar dengan menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya. Sedangkan pemahaman diperlukan pada saat membentuk pengalaman belajar.
Metode yang dapat digunakan menurut Krumboltz adalah:
1) Pendekatan Operant learning. Dalam pendekatan ini, hal yang terpenting adalah penguatan (reinforcement) yang dapat menghasilkan perilaku klien yang dikehendaki.
2) Metode unitative learning atau social modeling. Dalam metode ini diterapkan oleh konselor dengan merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan model oleh klien.
3) Metode cognitive learning merupakan metode yang berupa pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien dan bermain peran.
4) Metode emotional learning diterapkan pada individu yang mengalami suatu kecemasan.
2.2. Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif Islam
Bimbingan Konseling dalam Islam adalah suatu proses pemberian bantuan secara terus menerus dan sistematis terhadap individu atau sekelompok orang yang sedang mengalami kesulitan lahir dan batin untuk dapat memahami dirinya dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya sehingga dapat hidup secara harmonis sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya demi tercapainya kebahagiaan duniawiah dan ukhrawiah.
Dalam pandangan Islam, beranjak dari pengertian bahwa bimbingan dan konseling sebagai proses pemberian bantuan, maka aktivitas layanan konseling itu merupakan suatu ibadah, berkaitan erat dengan pengabdiannya kepada Allah SWT. Suatu bantuan kepada orang lain, sebagaimana layanan konseling dalam ajaran Islam dihitung sebagai suatu shadaqah (sedekah). Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: ”Tiap muslim wajib bersedekah”. Sahabat bertanya, ”Jika tidak dapat?”Jawab Nabi: ”Bekerja dengan tangannya yang berguna bagi dirinya dan bersedekah.” Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?” Jawab Nabi: ”Membantu orang yang sangat berhajat”. Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?”jawab nabi : ”Menganjurkan kebaikan”. Sahabat bertanya: ”Jika tidak dapat?” Jawab Nabi: ”Menahan diri dari kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).
Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling dalam Islam dapat dirumuskan untuk membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sedangkan tujuannya secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:
a. Untuk menghasilkan suatu perbuatan, perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai, bersikap lapang dada dan mendapatkan pencerahan taufik dan hidayah Tuhannya.
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong-menolong dan rasa kasih sayang.
d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintahNya serta ketabahan menerima ujianNya.
e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi itu individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar; ia dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan hidup; dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan.
f. Untuk mengembalikan pola pikir dan kebiasaan konseli yang sesuai dengan petunjuk ajaran islam (bersumber pada Al-Quran dan paradigma kenabian.
Sementara itu, Aunur Rahim Faqih membagi tujuan Bimbingan dan Konseling Islam dalam tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umumnya adalah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Tujuan khususnya adalah:
a. Membantu individu agar tidak menghadapi masalah
b. Membantu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapinya
c. Membantu individu memlihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau yang tetap baik menjadi tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Lahirnya suatu teori mempunyai kaitan dasar pribadi, sosiologis, dan filosofis. Ciri khas yang ditampilkan oleh beragam teori sangat dipengaruhi oleh kepribadian pembuatnya, kehidupan dan lingkungan sekitarnya, serta cara pandang pengarang dalam berfilsafat.
Berikut beberapa teori mengenai bimbingan dan konseling: Teori Trait dan Faktor, Teori yang Berpusat Pada Klien, Psychonalysis Teraphy, Teori Terapi Gestalt, Teori Rational Emotive Therapy (RET) dan Teori Konseling Behavioristik.
Dalam pandangan Islam, aktivitas layanan konseling itu merupakan suatu ibadah, berkaitan erat dengan pengabdiannya kepada Allah SWT. Suatu bantuan kepada orang lain, sebagaimana layanan konseling dalam ajaran Islam dihitung sebagai suatu shadaqah (sedekah).
Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling dalam Islam dapat dirumuskan untuk membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
3.2. Saran
Makalah ini kami sajikan secara ringkas dan padat, sehingga tidak dapat untuk menjelaskan secara detail dan menyeluruh. Untuk itu kami menyarankan kepada para pembaca yang ingin lebih memahaminya untuk mencari sumber-sumber tambahan sekaligus pembanding dari yang telah kami sajikan.