Translate

Friday, June 7, 2013

MENYALURKAN KEBERINGASAN

MENYALURKAN KEBERINGASAN




Ketika Almarhum Buya Hamka menyatakan pendapat bahwa jama’ah haji yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang beberapa tahun lalu di Srilangka sebagai syahid dua kali, maka tanggapan yang bernada menentangpun meletup. Kita masih ingat betapa Buya, seorang yang dituakan karena integritas keislamannya sampai berkata agak diluar takaran. “Saya ini sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. Saya sadar betul akan apa yang saya ucapkan, kepada siapa saya berucap dan untuk apa hal itu saya ucapkan.”
Yang mendorong Buya berkata demikian dalam adalah beringasnya tanggapan yang tidak setuju akan pendapat beliau tentang kesyahidan para jama’ah haji tersebut, sampai ada orang yang meragukan integritas keislaman beliau. Hal yang hampir sama di alami Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI). Kolomnis yang telah di akui kebolehannya oleh masyarakat muslim maupun kalangan luar ini di anggap bukan muslim oleh seorang dari Medan lantaran beliau berpendapat bahwa belum pernah terjadi Islamic State dalam arti yang sebenar-benarnya. Terakhir, KH. As’ad Syamsul Arifin, pemimpin pondok pesantren Asembagus Situ Bondo langsung atau tidak langsung telah di anggap kafir oleh seorang pelajar Indonesia yang sedang merantau di Tanah Suci.
Tanpa memasuki wilayah pro dan kontra, saya ingin mengetengahkan masalah ini untuk mengambil hikmahnya. Dari ketiga kasus tersebut ada satu kesamaan, yaitu ketiga-tiganya mengembang lewat jalur media massa. Baik Buya, Gus dur dan KH. As’ad tidak bermuwajahah dengan para penyanggahnya. Namun para penyanggah sudah bisa menjatuhkan penilaian (bahkan menghakimi) ketiga tokoh tersebut. Pertanyaan saya; hanya melalui informasi di sebuah majalah atau harian, bisakah seorang muslim menghakimi sesama ?


Sabar dan sabar
Islam mengajarkan sikap sabar bila kita menghadapi suatu masalah. Sesungguhnya orang-orang berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling berpesan dalam kebenaran dan kesabaran. Guru ngaji saya memberi makna kata “sabar” sebagai sikap aktif untuk mengetahui dan memahami suatu permasalahan secara menyeluruh, kemudian menghadapinya atas dasar tawaqal. Mengetahui serta memahami suatu permasalahan secara menyeluruh, berarti mencari tahu latar sebab, latar kondisi dan latar situasi yang menyebabkan kelahiran masalah tersebut. Menurut penafsiran guru ngaji saya ini, “sabar” sama sekali tidak terbatas sebagai sikap yang tidak emosional atau tergesa-gesa seperti pemahaman yang popular dewasa ini.
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengatakan sikapnya secara tuntas terhadap pendapat orang lain, layaknya terlebih dahulu mempelajari secara sungguh-sungguh dalam berbagai sisi pandang dan persepsi. Hal ini menyangkut dalil, argument lainnya serta maksud pernyataan itu. Barulah setelah itu orang bisa mengatakan setuju atau tidak. Sedangkan untuk mengkafirkan seseorang baik secara langsung atau dengan cara lain (apalagi itu para ulama), nanti dulu. Berdiri bulu kuduk saya bila teringat besarnya konsekuensi menganggap kafir seseorang. Misalnya, ketika seorang santri KH. As’ad didepan sebuah majelis berkata lantang, “Kami pemuda Madura bersedia mati membela Kyai As’ad karena beliau guru kami”.
Kalau murid Kyai As’ad yang doktorandus itu sampai berkata demikian beringas, maka sungguh sudah sampai saatnya semua pihak menahan diri. Memperpanjang urusan hanya banyak menimbulkan kerugian daripada untung bagi umat Islam secara keseluruhan. Kita percaya, ada tempat yang cukup di dalam Islam untuk berbeda pendapat, tetapi tidak sejauh mengkafirkan sesama muslim.
Pengaruh pribadi yang kuat selalu mampu menembus lingkaran batas kelompok. Buya Hamka misalnya, dihormati orang secara luas bukan karena beliau orang Muhammadiyah,  begitu pula dengan Abdurrahman Wahid bukan karena beliau orang Nahdalatul Ulama, melainkan karena nilai diri mereka. Maka mengecilkan arti, apalagi menghakimi secara tergesa-gesa pribadi-pribadi semacam itu tentu mempunyai dampak yang tidak menguntungkan. Bahkan kadang berbalik menjadi boomerang yang mengecilkan arti orang yang membuat keputusan tergesa-gesa itu.
Saya menghimbau semua sahabat yang saling berbeda pendapat untuk saling menyempatkan diri bersilaturrahmi. Berdialog secara langsung adalah cara paling baik untuk memecahkan suatu masalah. Boleh jadi sesudah itu akan terjadi kesamaan pendapat. Atau, masing-masing pihak tetap pada pendapatnya sendiri tapi saling menghargai perbedaan. Tak mengapa, toh setidak-tidaknya akan tercipta saling pengertian yang baik. Dan, jangan lupa aspek adab ada pada setiap sudut Islam, termasuk adab menyalurkan keberingasan.

Catatan:
Dikutip dari buku karangan Ahmad Tohari terbitan 1996 yang berjudul “Berhala Kontemporer”. Tulisan ini sedikit mengalami penyesuaian disana-sini untuk mencocokkan dengan situasi terkini.

No comments:

Post a Comment