MATA KULIAH FILSAFAT PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat di sangkal bahwa analisis filsafat terhadap berbagai problematika realitas kependidikan sangat diperlukan. Eksistensinya semakin tampak jika dilihat dari sudut pandang bahwa manusia selalu mengarah pada proses penyempurnaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa manifestasi kehidupan selalu diidentifikasikan sebagai upaya penyempurnaan diri.
Idealisme, realisme dan rasionalisme sebagai salah satu aliran filsafat telah menghadirkan tersendiri dalam dunia kependidikan, yang sampai kini masih sering menjadi bahan perbincangan dan pengkajian para pemerhati dunia kependidikan.
2. Rumusan Masalah
a) Apa pengertian filsafat?
b) Apa pengertian filsafat pendidikan?
c) Jelaskan mengenai aliran modern filsafat pendidikan (idealisme, reaslime dan rasionalime).
3. Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan, makalah kami harapkan dapat menjadi sumber kajian bagi kita semua, khusus rekan-rekan Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Yayasan Nurul Islam Bungo.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakikat kebenaran sesuatu. Hakikat filsafat selalu menggunakan ratio (pikiran), tetapi tidak semua proses berpikir disebut filsafat. Pemikiran manusia dapat dipelajari dalam 4 (empat) golongan, yaitu:[1]
a. Pemikiran pseudo ilmiah
b. Pemikiran awam
c. Pemikiran ilmiah
d. Pemikiran filosofis
Pemikiran pseudo ilmiah berumpu pada aspek kepercayaan dan kebudayaan mitos, yang bekas-bekasnya dapat kita jumpai dalam astrologi atau kepercayaan terhadap buku primbon. Pemikiran awam adalah pemikiran orang-orang dewasa yang menggunakan akal sehat, karena bagi orang-orang awam untuk memecahkan kesulitan dalam kehidupan cukup menggunakan akal sehat tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu. Selanjutnya, pemikiran ilmiah menggunakan metode-metode, tata pikir dalam paradigma ilmu pengetahuan tertentu, dilengkapi dengan penggunaan hipotesis untuk menguji kebenaran konsep teori atau pemikiran dalam dunia empiris yang tidak pernah selesai dalam proses keilmuan. Sedangkan pemikiran filosofis adalah kegiatan berpikir reflektif meliputi kegiatan analisis, pemahaman, deskripsi, penilaian, penafsiran dan perekaan yang bertujuan untuk memperoleh kejelasan, kecerahan, keterangan, pembenaran, pengertian dan penyatupaduan tentang objek.[2]
Filsafat merupakan ilmu yang tertua dan menjadi induk ilmu pengetahuan yang lain. Sebagaimana di ungkapkan oleh John S. Brubacher sebagai berikut:
Philosophy was, as its etymologi from the Greek words Pilos and Sopia, suggest love of wisdom or learning. More over, it was love of learning in general; it subsumed under one heading what to day we call science as well as what we now call philosopy. It is for the reason that philosophy is often referred to us the mother as well as the queen of the science.
Artinya: Filsafat berasal dari perkataan Yunani yaitu Philos dan Sophia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar. Lebih dari itu dapat di artikan cinta belajar pada umumnya termasuk dalam suatu ilmu yang kita sebut sekarang dengan filsafat, untuk alasan inilah maka sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu ilmu pengetahuan.[3]
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah segala upaya, latihan dan sebagainya untuk menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia baik secara mental, moral dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang berbudi luhur.
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan peribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmaniah juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui peroses demi peroses kearah tujuah akhir perkembangan atau pertumbuhannya.[4]
3. Pengertian Filsafat Pendidikan
Menyimak dari dua pengertian di atas, maka filsafat pendidikan dapat di artikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem aliran filsafat terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Di samping itu, filsafat pendidikan juga merupakan studi tentang penggunaan dan penerangan metode dan sistem filsafat dalam memecahkan problema kependidikan, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan.
4. Aliran-aliran Modern Filsafat Pendidikan
a) Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran filsafat yang paling tua yang umumnya disandarkan dengan filsuf besar Plato. Aliran ini memiliki suatu keyakinan bahwa realitas ini terdiri dari subtansi sebagaimana ide-ide atau spirit. Alam nyata tergantung pada Tuhan sebagai Jiwa Universal. Alam nyata ini adalah pancaran dan ekspresi dari Jiwa Universal itu. Realitas yang sesungguhnya bukanlah terletak pada bendanya, tetapi pada sesuatu yang berada didalam dan mengikat zat tersebut, sehingga ia menjadi wujud. Pengetahuan menurut aliran ini tidak lain adalah yang ada dalam ruang idea.[5]
Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar (merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar[6].
1) Tokoh-Tokoh Aliran Idealisme
Aliran ini banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang sangat berpengaruh, di antaranya yaitu:
Ø Plato (477 -347 SM)
Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Ø J. G. Fichte (1762-1914 M.)[7]
Ia adalah seorang filsuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Ø G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)[8]
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang di ilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir).
2) Idealisme dalam Pendidikan
Aliran idealisme terbukti cukup banyak berpengaruh dalam dunia pendidikan. Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.
Bagi aliran idealisme, peserta didik merupakan pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Sejak idealisme sebagai aliran filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan filsafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat tapi idealisme. Maka tujuan pendidikan menurut aliran idealisme terbagi atas tiga hal, tujuan untuk individual, masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
b) Realisme
Pada hakikatnya kelahiran realisme sebagai suatu aliran dalam filsafat sebagai sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu sisi dan empirisme John Locke di sisi lainnya. Realisme ini kadang kala disebut juga neo rasonalisme. John Locke memandang bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat metafisik dan universal. Ia berkeyakinan bahwa sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman-pengalaman indrawi, sifatnya induksi. John Locke menyangkal kebenaran akal.[9]
Gagasan filsafat realisme terlacak dimulai sebelum periode abad masehi dimulai, yaitu dalam pemikiran murid Plato bernama Aristoteles (384-322 SM). Sebagai murid Plato, sedikit banyak Aristoteles tentu saja memiliki pemikiran yang sangat dipengaruhi Plato dalam berfilsafat. Dalam keterpengaruhannya, Aristoteles memiliki sesuatu perbedaan pemikiran yang membuatnya menjadi berbeda dengan Plato[10].
Aristoteles memandang dunia dalam terma material. Segala sesuatu yang ada dihadapan kita adalah sesuatu yang riil dan terpisah dari alam pikiran, namun ia dapat memunculkan pikiran melalui upaya selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayagunaan fungsi akal. Jadi, realitas yang ada adalah dalam wujud natural, sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu selalu digerakkan oleh alam.[11]
c) Rasionalisme
Rasionalisme adalah suatu aliran filsafat yang muncul pada zaman modern dengan menekankan bahwa dunia luar adalah sesuatu yang riil. Realitas berbeda dengan jiwa yang mengetahui objek atau dunia luar tersebut. Realitas merupakan pertemuan jiwa manusia dan dunia luar sebagai objeknya. Rasionalisme memiliki suatu keyakinan bahwa sumber pengetahuan terletak pada rasio manusia melalui persentuhannya dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya.[12]
Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata dalam bahasa latin ratio yang berarti “akal”. Menurut A.R. lacey berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah : sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran hakiki.
Sementara itu menurut istilah, rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam mencari, memperoleh, dan mengetes pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal juga[13].
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal maksudnya diuji, apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis benar, bila tidak logis salah. Akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu berasal dari akal (rasio).
Rasionalisme menekankan bahwa kesempurnaan manusia tergantung pada kualitas rasionya dalam mencerna realitas yang ada di sekitarnya. Kualitas rasio manusia ini tergentung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio ke arah yang memadai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan. Pribadi-pribadi yang rasional adalah pribadi-pribadi yang mempunyai suatu keyakinan atas dasar kesimpulan yang berlandaskan pada analisis mendalam terhadap berbagai bukti yang dapat dipercaya, sehingga terdapat hubungan rasional antara ide dan kenyataan empirik. Untuk keperluan ini, diperlukan adanya kemampuan tata logik yang baik yang akan berguna bagi pengembangan rasionalitas tersebut.[14]
1) Pelopor Filsafat Rasionalisme
Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandinganya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctively). Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, karena ilmu pasti dapat dijadikan model cara mengenal secara dinamis.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional(skolastik), yang pernah diterima tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang ditanam Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan.
Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlikan titik tolak pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito ergo sum(saya berfikir maka saya ada). Jelasya, bertolak dari keraguan untuk mendapatkan kepastian[15].
Oleh Descartes, dikatakan dengan amat tegas, bahwa manusia itu terdiri dari jasmaninya dengan keluasanya (extensio) serta budi dengan kesadaranya. Kesadaran ini rohani dan yang bertindak itu sebenarya budilah. Dalam pengetahuan dan pengenalan misalnya, satu-satunya pengetahuan yang benar itu hanya yang bersumber pada kesadaran. Jiwa dan badan memang terhubungkan, akan tetapi hubungan ini sejajar, jadi tidak merupakan kesatuan. Ada pengaruh jiwa kepada badan, akan tetapi pengaruh ini hanya secara materi, tetaplah kedua hal tersebut berdampingan.
2) Tokoh-tokoh Rasionalisme
Tokoh-tokoh terpenting aliran rasionalisme adalah:
Ø Blaise Pascal
Ø Cristian Wolf
Ø Rene Descartes
Ø Baruch Spinoza
3) Inti Pemikiran
Makna penting teori Descartes punya nilai ganda. Pertama, dia meletakkan pusat sistem filosofinya persoalan epistomologis yang fundamental, "Apakah asal-muasalnya pengetahuan manusia itu?" para filosof terdahulu sudah mencoba melukiskan gambaran dunia. Descartes mengajar kita bahwa pertanyaan macam itu tidak bisa memberi jawab yang memuaskan kecuali bila dikaitkan dengan pertanyaan "Bagaimana saya tahu?".
Kedua, Descartes menganjurkan kita harus berangkat bukan dengan kepercayaan, melainkan dengan keraguan. (Ini merupakan kebalikan sepenuhnya dari sikap St. Augustine, dan umumnya teolog abad tengah bahwa kepercayaan harus didahulukan). Memang benar Descartes kemudian meneruskan dan sampai pada kesimpulan teologis yang ortodoks, tetapi para pembacanya lebih tertarik dan menaruh perhatian lebih besar kepada metode yang dikembangkannya ketimbang kongklusi yang ditariknya. (Ketakutan gereja bahwa tulisan-tulisan Descartes akhirnya akan menjadi bahaya, jelas sekali).
Dalam filosofinya, Descartes menekankan beda nyata antara pikiran dan obyek material, dan dalam hubungan ini dia membela dualisme. Perbedaan ini telah dibuat sebelumnya, tetapi tulisan-tulisan Descartes menggalakkan perbincangan filosofis tentang masalah itu. Permasalahan yang dikemukakannya menarik para filosof sejak itu dan tetap tak terpecahkan.
Pengaruh besar lain dari konsepsi Descartes adalah tentang fisik alam semesta. Dia yakin, seluruh alam (kecuali Tuhan dan jiwa manusia) bekerja secara mekanis, dan karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan secara dan dari sebab-musabab mekanis. Atas dasar ini dia menolak anggapan-anggapan astrologi, magis dan lain-lain ketakhayulan. Berarti, dia pun menolak semua penjelasan kejadian secara teleologis. (Yakni, dia mencari sebab-sebab mekanis secara langsung dan menolak anggapan bahwa kejadian itu terjadi untuk sesuatu tujuan final yang jauh). Dari pandangan Descartes semua makhluk pada hakekatnya merupakan mesin yang ruwet, dan tubuh manusia pun tunduk pada hukum mekanis yang biasa. Pendapat ini sejak saat itu menjadi salah satu ide fundamental fisiologi modern.
Descartes menggandrungi penyelidikan ilmiah dan dia percaya bahwa penggunaan praktisnya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dia pikir, para ilmuwan harus menjauhi pendapat-pendapat yang semu dan harus berusaha menjabarkan dunia secara matematis. Semua ini kedengarannya modern. Tetapi, Descartes, melalui pengamatannya sendiri tak pernah bersungguh-sungguh menekankan arti penting ruwetnya percobaan metode ilmiah.
4) Korelasi Rasionalisme dengan Pendidikan
Upaya penyadaran akan fungsi manusia sebagai makhluk rasional merupakan tugas yang esensial bagi dunia pendidikan, karena memang eksistensinya bersentuhan langsung dengan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian, penumbuhkembangan berpikir reflektif-kritis-kreatif ini menurut aliran rasionalisme merupak kunci suksesnya suatu pendidikan. Upayanya tentu melalui proses kependidikan yang erat kaitannya dengan pengaturan struktur-struktur psikologis melalui interaksi organisme dengan lingkungan, mulai dalam menghadapi persoalan-persoalan sederhana sampai berbagai problem yang rumit dan kompleks.[17]
Jika pengembangan dan penyempurnaan rasionalitas akan dicapai melalui upaya pendidikan, maka diperlukan semacam ekosistem rasional yang akan mendukung terciptanya kemampuan berpikir rasional tersebut. Mengingat berpikir berkenaan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikiran, maka aspek kebebasan merupakan aspek penting dalam mewujudkan manusia-manusia yang di inginkan.[18]
Berdasarkan pemikirannya, aliran ini berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah semacam pertumbuhan dan perkembangan subjek didik secara penuh berdasarkan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang luas yang berguna bagi kehidupannya, sehingga ia pun menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya.[19]
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Filsafat berasal dari perkataan Yunani yaitu Philosdan Sophia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar. Lebih dari itu dapat di artikan cinta belajar pada umumnya termasuk dalam suatu ilmu yang kita sebut sekarang dengan filsafat, untuk alasan inilah maka sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu ilmu pengetahuan.
Pendidikan adalah segala upaya, latihan dan sebagainya untuk menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia baik secara mental, moral dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang berbudi luhur.
Filsafat pendidikan dapat di artikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem aliran filsafat terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Ada beragam aliran filsafat yang berkembang didunia, mulai dari jaman klasik (Yunani kuno) hingga jaman modern, di antaranya yaitu aliran idealisme, realisme dan rasonalisme.
2. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, baik dari sisi penulisan, penyajian maupun dari sisi bahan yang menjadi pembahasan. Untuk melengkapi kekurangan itu, maka bagi para pembaca yang ingin lebih mendalami tentang aliran idealisme, realisme dan rasionalisme kami menyarankan untuk mencari sumber lain sebagai referensi tambahan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1993. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III. Jakarta: Bumi Aksara.
Ihsan,A. Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, A. Fuad. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III. Bandung: Pustaka Setia.
Inayah. 2012. Filsafat Pendidikan Realisme. dari http://koreakinayahfaqot. blogspot.com pada tanggal 27 September 2014 pukul 00:31 Wib.
Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan (Terjemahan Dr. Mahmud Arif, M.Ag). Yogyakarta: Gama Media.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Rochma, Ika Nur. 2012. Filsafat Modern Aliran Rasionalisme. dari http://iiknotes.blogspot.com pada tanggal 27 September 2014 pukul 00:49 Wib.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
[1] Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 9
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 10
[4] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III, (Jakarta ; Bumi Aksara, 1993), hlm. 11
[5] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 132
[6] George R. Knight (Terjemahan Dr. Mahmud Arif, M.Ag). Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm. 69.
[8] Ibid, hlm. 161
[9] Muhmidayeli, op.cit. hlm. 136
[10] Inayah, Filsafat Pendidikan Realisme, di akses dari http:// koreakinayahfaqot.blogspot.com/2012/07/makalah-filsafat-pendidikan-realisme.html pada tanggal 27 September 2014 pukul 00:31 Wib
[11] Muhmidayeli, op.cit. hlm. 136
[12] Ibid, hlm. 134
[13] Ika Nur Rochma, Filsafat Modern Aliran Rasionalisme, di akses dari http://iiknotes.blogspot.com/2012/08/aliran-rasionalisme.html pada tanggal 27 September 2014 pukul 00:49 Wib
[14] Muhmidayeli, op.cit. hlm. 136
[15] Ahmad Tafsir,Filsafat Umum,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,2000), hlm.,127-141.
[16] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2005), hal, 66
[17] Muhmidayeli, op.cit. hlm. 135
[18] Ibid, hlm. 136
[19] Ibid
No comments:
Post a Comment