Menurut etimologi, “thaharah” berarti “kebersihan”. Adapun menurut terminology syara’, “thaharah” adalah menghilangkan hadats dan najis, atau melakukan sesuatu yang semakna atau memiliki bentuk yang serupa dengan kedua kegiatan tersebut.
Adapun yang termasuk dalam kategori “yang semakna dengan keduanya” adalah tayamum, beberapa jenis mandi yang disunahkan, memperbarui wudhu atau tayamum yang sebenarnya tidak termasuk tindakan untuk menghilangkan hadats atau najis, tetapi masih semakna dengan kegiatan bersuci.
Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yaitu; air hujan, air laut, air sumur, air sungai, air dari mata air, salju dan embun. Kesucian air hujan berdasarkan firman Allah Ta’ala, :
øÎ) ãNä3Ïe±tóã }¨$yèZ9$# ZpuZtBr& çm÷YÏiB ãAÍit\ãur Nä3øn=tæ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB Nä.tÎdgsÜãÏj9 ¾ÏmÎ/ |=Ïdõãur ö/ä3Ztã tô_Í Ç`»sÜø¤±9$# xÝÎ/÷zÏ9ur 4n?tã öNà6Î/qè=è% |MÎm7sWãur ÏmÎ/ tP#yø%F{$# ÇÊÊÈ
Artinya: “(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)”. (QS. Al-Anfaal: 11);
dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam mengenai kesucian air laut, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”[1], sabda Nabi mengenai kesucian air sumur terdapat dalam hadits sahal, r.a.; Suatu ketika, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berwudhu dengan air sumur, sedangkan sumur digunakan oleh orang yang beristinja’, perempuan yang haid dan orang junub?” Nabi menjawab, “Air adalah suci dan tidak dapat dinajiskan oleh apapun”[2]. Adapun hukum air sungai dan air dari mata air sama seperti air sumur.
Adapun kesucian air salju dan embun adalah berdasarkan hadits doa iftitah yang dibaca Nabi dalam shalat, “Wahai Allah, jauhkan aku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Wahai Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa-dosa sebagaimana baju putih yang bersih dari kotoran. Wahai Allah cucilah aku dengan air salju dan air embun.”[3]
Menurut pandangan syari’at Islam, air terbagi menjadi empat macam; air suci menyucikan, air suci tidak menyucikan, air makruh dan air najis.
Air suci yang menyucikan adalah air mutlak, yaitu air yang secara mutlak tanpa ada batasan atau penambahan tertentu, dan karakter airnya masih pada kondisi aslinya atau kata lainnya air yang suci esensinya (air yang ketika kemasukan zat lain tapi tidak merubahnya menjadi najis).
Air suci yang tidak menyucikan, yaitu air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci, seperti air musta’mal (air yang kurang dari dua kullah yang telah dipakai untuk bersuci), air yang telah bercampur dengan benda suci lainnya namun telah berubah bau, rasa atau warnanya (air the, susu, dll). Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi, “Allah menciptakan air dalam keadaan suci menyucikan, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya, kecuali jika ia berubah rasa, bau, atau berubah warnanya.”[4]
Air makruh yaitu air musyammas (air yang menjadi panas karena diletakkan ditempat yang terkena sinar matahari dalam wadah berbahan logam selain emas atau perak. Hukum makruh menggunakan air musyammas terjadi apabila digunakan untuk badan, sedangkan untuk mencuci pakaian atau alat-alat hukumnya tidak makruh. Sebab, menurut dugaan, penggunaan air musyammas untuk badan dapat menyebabkan penyakit kusta. Demikian juga makruh menggunakan air yang terlalu panas atau terlalu dingin, kemakruhan ini akan hilang apabila suhu air telah kembali normal.
Air najis adalah air sedikit (kurang dari dua kullah) yang telah kemasukan benda/zat najis, atau air banyak (dua kullah/lebih) yang telah berubah bau, rasa atau warnanya akibat kemasukan benda/zat najis. Namun, ada beberapa pengecualian yang membuat air tidak menjadi najis, baik air itu sedikit maupun banyak, yaitu:
a. Suatu najis yang tidak bias dilihat dengan penglihatan normal.
b. Bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti, lalat kerbau, kalajengking, tokek, semut, lebah, dll, kecuali bangkai-bangkai tersebut mengubah sifat air (bau, rasa atau warnanya).
c. Asap dari najis dalam kadar yang sedikit.
d. Debu najis dalam jumlah yang sedikit.
Referensi:
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i(Terjemahan). Jakarta: Almahira
No comments:
Post a Comment