Translate

Thursday, August 1, 2013

TUHAN DIAM BELAKA



Seorang pemuda dalam perjalanan menuju suatu tempat. Belum sampai ke tempat tujuan, waktu maghrib telah masuk. Maka dia menghentikan motornya dekat sebuah Surau ditepi jalan. Kebetulan disana siap ditegakkan shalat maghrib berjamah oleh beberapa orang lelaki, anak-anak dan perempuan. Seorang lelaki tua bertindak sebagai imam.
Si pemuda cepat berwudhu dan segera bergabung dengan para jamaah dan mengikuti shalat maghrib sejak rakaat pertama. Namun kelihatan benar pemuda tersebut tidak khusu’ dalam shalatnya. Ia kelihatan gelisah sepanjang shalat.
Dan shalat berjamaah itu pun usai. Namun si pemuda berdiri kembali dan bertakbiratul ikhram. Orang-orang di Surau mengira pemuda itu hendak menegakkan shalat sunnah ba’da maghrib. Namun para jamaah menjadi ragu karena si pemuda shalat dengan tiga rakaat. Setahu mereka shalat sunnah ba’da maghrib cuma dua rakaat.
Shalat sunnah anda kelebihan satu rakaat,”.Kata seorang jamaah sambil tersenyum seusai pemuda itu shalat.
Oh, aku tidak shalat sunnah. Yang baru aku lakukan adalah shalat maghrib,” jawab si pemuda dengan yakin.
Tetapi bukankah anda sudah shalat berjamaah bersama kami?”
“Benar, namun aku menganggap shalat maghrib kalian tidak benar. Maka aku harus mengulang shalat maghribku,”
“Tidak Benar?”
“Ya.”
Maka si pemuda menyebutkan beberapa hal dalam shalat maghrib mereka yang di anggapnya tidak benar, tidak sesuai dengan keyakinan yang di amalkannya selama ini. Selesai menyebutkan hal-hal yang di anggapnya tidak benar itu si pemuda balik bertanya, mengapa para jamaah disitu tetap beribadah dengan cara-cara yang ‘keliru’ itu.
Mendengar pertanyaan demikian para jamaah terpana. Mereka tersinggung. Pembicaraan yang semula santai lambat laun menjadi panas dan nyaris meletup menjadi perdebatan. Ketika itulah lelaki tua yang menjadi imam menghentikan zikirnya, lalu membalik badan menghadap para jamaah dan si pemuda. Ia tersenyum. Kata-kata yang kemudian di ucapkannya terdengar datar.
Soal shalat kok diperdebatkan ? apa sih untungnya ?”
“karena shalat harus dilakukan seperti nabi shalat. Bila tidak, shalat yang mana saja akan tertolak,” jawab si pemuda.
Ya, semua orang ingin shalat seperti nabi shalat. Yang sulit adalah memperoleh jaminan bahwa seseorang telah melakukan shalat seperti yang dilakukan nabi. Paling-paling masing-masing orang atau jamaah boleh merasa yakin bahwa amalannya sesuai dengan tuntunan nabi, namun tidak boleh menghakimi amal saudaranya yang lain. Ini menyangkut masalah keyakinan dimana sesame pencari kebenaran tidak boleh saling manghakimi karena hal itu semata-mata hak Allah.”jawab sang imam tua itu.
“Tetapi ka nada dalil-dalil sebagai patokan amal.” Bantah si pemuda.
“Ya tentu. Dalil yang berupa Al-Qur’an adalah mutlak. Dan sunnah nabi diriwayatkan oleh orang-orang yang mulia. Namun ketika kita memahami kedua macam dalil tersebut hasilnya adalah nisbi. Dengan demikian kita tidak boleh punya keyakinan bahwa amal kita mutlak benar dengan akibat amal orang lain pasti salah.”
Suasana di Surau jadi lengang. Lelaki tua itu tersenyum. Lalu bangkit dan meletakkan tangan di atas pundak pemuda itu.
“Anda adalah pemuda yang cerdas dan tentu saja kami menghargai keyakinan anda. Dan kita tak perlu mempermasalahkan perbedaan kecil dalam peribadatan kita.”
Pemuda itu mengangguk-angguk.
“Ya. Dan memutlakkan pendapat sendiri dalam beribadah baru saja terbukti menjadi penyebab ‘bubrahnya’ jamaah kita. Memang kita tak perlu sama persis karena hal itu mustahil tercapai. Toh Tuhan sendiri diam belaka, baik ketika disembah dengan cara anda maupun dengan cara kami. Itu pertanda amal kita masing-masing diterima-Nya, insya Allah.” Lanjut sang imam.

(dari buku karangan Ahmad Tohari yang berjudul “Berhala Kontemporer”)

No comments:

Post a Comment