MATA KULIAH MATERI FIQIH
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Hudud, qishash dan ta’zir adalah cabang dari ilmu fiqih, yang merupakan syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits rasulullah SAW.
Berbicara mengenai fiqih, maka kita akan menemukan banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam mengungkapkan hasil penelitiannya yang secara fundamental dapat mengubah cara pandang kita terhadap islam. Sehingga sangat penting bagi kita untuk menambah wawasan pengatahuan dalam hal tersebut dengan cara mencari data-data yang akurat (valid) termasuk dengan menyusun makalah ini.
2. Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan hudud?
b) Apa yang dimaksud dengan qishash?
c) Dan apa pula yang dimaksud dengan ta’zir?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kita semua tentang syariat Islam, khususnya tentang hudud, qishash dan ta’zir.
B. PEMBAHASAN
1. Hudud
a) Pengertian
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman.
Adapun menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya dalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia[1].
b) Macam-Macamnya
Hudud dibagi menjadi enam, yaitu:
1) Zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian);
Hadd zina ada dua macam, hukuman cambuk disertai pengasingan dan hukuman rajam (dilempari batu sampai mati).
Jika pelaku zina seorang perawan atau perjaka bukan muhshan (sudah menikah), dan orang merdeka, haddnya berupa cambuk sebanyak seratus kali sesuai dengan firman Allah: “Deralah masing-masing dari keduanya seratus kali” (QS. An-Nuur: 2), dan di asingkan selama setahun, ketentuan pengasingan ini sesuai dengan hadits Nabi: “Perzinaan yang dilakukan oleh lelaki perjaka dengan wanita perawan (Gadis) hukumannya seratus kali deraan dan dibuang selama setahun” (Hr. Muslim)[2].
Sedangkan jika perzinaan itu dilakukan oleh wanita yang telah menikah (muhshan), maka hadd atas kedua pelakunya adalah dirajam sampai mati.
2) Al-Qadzaf (menuduh zina orang lain);
Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an: “....maka deralah mereka delapan puluh kali” (QS. An-Nuur: 4)
3) Minum khamr
Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu.
4) Pencurian
Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hokum potong tangan.
5) Murtad
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam. Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati.
6) Hirabah atau bughat.
Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah.
2. Qishash
a) Pengertian
Qishash adalah istilah dalam Hukum Islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Dasarnya adalah: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang mema'afkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik,” (QS. Al-baqarah : 178)
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim."(QS. Al-Maaidah: 45)
Meski demikian dikatakan Al Qur'an bila hak qishash dilepaskan oleh korban maka itu menjadi penebus dosa bagi mereka. Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan meminta penebus dalam bentuk materi.
Hukuman qishash adalah sama seperti hukuman hudud juga, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hukuman qishash ialah kesalahan yang yang di kenakan hukuman balas. Membunuh dibalas dengan bunuh (nyawa dibalas dengan nyawa), melukakan dibalas dengan melukakan, mencederakan dibalas dengan mencederakan.
b) Macam-Macamnya
Qishash ada 2 macam :
1) Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
2) Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
c) Syarat-Syarat Qishash
1) Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
2) Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qisas bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
3) Orang yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempua dengan perempuan, dan budak dengan budak.
4) Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
5) Qishash itu dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
6) Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâi’)
7) Pembunuhan olah massa / kelompok orang. Sekelompok orang yang membunuh seorang harus di qisas, dibunuh semua.
3. Ta’zir
a) Pengertian
Adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir, pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) penyerangan terhadap nama baik; (3) tindak yang bisa merusak akal; (4) penyerangan terhadap harta milik orang lain; (5) ganggungan terhadap keamanan atau privacy; (6) mengancam keamanan Negara; (7) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; (8) kasus-kasus ta‘zîr lainnya.
Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.
Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.
Hukuman ta'zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap berbagai perbuatan yang tidak dihukum dengan hukuman hudud atau terhadap kejahatan yang sudah pasti ketentuan hukumnya hanya syaratnya tidak cukup (misalnya saksi tidak cukup dsb). Pelaksanaan hukuman takzir ini diserahkan kepada penguasa yang akan menjatuhkan hukuman. dan dalam hal ini hakim atau penguasa memiliki kebebasan untuk menetapkan hukuman ta’zir kepada pelaku tindak pidana yang hukumannya tidak disebutkan dalam Alquran. Pemberian hak ini adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan. Tindak pidana yang dikenakan hukuman ta’zir selain tindak pidana yang dihukum dengan hudud, qisas atau diyat, dan kiffarat. Bentuk hukumannya bisa berupa hukuman mati, dera, kurungan, pengasingan, salib, ancaman, denda, dsb.
b) Macam-Macamnya
Dilihat dari hak yang dilanggar, ta’zir dapat dibagi menjadi dua bagian:
1) Jarimah yang berkaitan dengan hak Allah. Yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, seperti pencurian, penimbunan bahan pokok dan lain-lain. Bisa dikatakan juga dengan hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang karena meninggalkan kewajiban, seperti tidak membayar zakat.
2) Jarimah yang berkaitan dengan hak perseorangan. Yaitu perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu atau bisa juga sabagai suatu siksaan yang dijatuhkan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syariat, seperti penipuan, pengkhianatan, penghinaan dan lain-lain.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian:
1) Ta’zir atas perbuatan maksiat. Yaitu semua maksiat yang telah ditetapkan dalam Al-Quran namun tidak ada ketentuan atas hukuman yang dijatuhkan. Seperti memakan harta anak yatim, riba, menghina orang lain dan lain-lain, hukumannya pun lebih ringan dari pada had.
2) Ta’zir atas perbuatan yang membahayakan kepentingan umum. Yaitu semua tindak pidana yang dianggap melanggar kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur yang merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman.
3) Ta’zir atas pelanggaran (mukhalafah). Jenis yang ketiga ini sepenuhnya ditentukan oleh ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pemerintah.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman.
Qishash adalah istilah dalam Hukum Islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir, pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
2. Saran
Karena keterbatasan pengetahuan kami, sehingga makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu bagi teman-teman yang ingin lebih memahami syariat Islam, khususnya tentang masalah hudud, qishash dan ta’zir kami sarankan untuk bertanya langsung pada para ulama atau mencarinya dari sumber-sumber lain seperti buku atau kitab-kitab fiqih Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i, Terjemahan. Jakarta: Almahira.
[1] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili. Fiqih Imam Syafi’i, Terjemahan. (Jakarta: Almahira. 2010) hlm.259
[2] Ibid. Hlm.265
No comments:
Post a Comment