Translate

Sunday, September 15, 2013

Makalah Kisah-Kisah Teladan dan Tercela

MATA KULIAH AQIDAH AKHLAK




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Dari waktu ke waktu sejak manusia muncul ke muka bumi, sejarah selalu mencatat berbagai peristiwa yang mengiringinya. Peristiwa demi peristiwa yang terkadang menyunggingkan senyum dan terkadang pula meneteskan airmata.
Terekam jelas baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits tentang berbagai kisah yang terjadi disepanjang sejarah manusia, baik itu kisah teladan yang patut untuk kita tiru maupun kisah-kisah tercela yang harus kita jauhi.

1.2.       Rumusan Masalah
a.         Apa pengertian teladan?
b.        Apa pengertian tercela?
c.         Sebutkan contoh-contoh kisah teladan!
d.        Sebutkan contoh-contoh kisah tercela!




BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Pengertian Teladan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian ‘teladan’ adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (perbuatan, kelakuan, sifat).
Secara sederhana Perilaku Teladan dapat dimaknai sebagai sebuah tindakan yang seharusnya dapat dicontoh tentang kebaikan dan kebenarannya. Namun secara lebih terperinci, Perilaku sendiri merupakan ekspresi sikap seseorang. Sikap itu sudah terbentuk dalam diri karena berbagai tekanan atau hambatan dari luar atau dalam dirinya. Artinya, potensi reaksi yang sudah terbentuk dalam diri akan muncul berupa perilaku aktual sebagai cerminan sikap. Akan tetapi, menurut Bohar Soeharto, perilaku adalah sebagai hasil proses belajar. Dalam proses belajar itu terjadi interaksi antara individu dan dunia sekitarnya. Sebagai hasil interaksi maka jawaban yang terlihat dari seorang individu akan dipengaruhi oleh hal-hal atau kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh individu tersebut maupun oleh situasi masa kini. Kemudian, teladan sendiri memiliki makna layak diikuti dan ditiru. Hal ini tentunya sesuai dengan nilai - nilai moral - agamis. Dengan demikian, pengertian Teladan adalah sikap dan aktivitas manusia yang selaras dengan nilai- nilai moral kebajikan dan jauh dari nilai-nilai kejahatan. Pada dasarnya, prilaku teladan memiliki makna yang senada dengan moral Islami, akhlak al-karimah dan Insan kamil. Sehingga dengan demikian teladan memiliki pengertian yang lebih luas. Hal ini sebagaimana pengertian teladan menurut Sayyid Quthub adalah selaras dengan pengertian moralitas Islami yaitu: dorongan batin yang menuntut pembebasan jiwa dari beban batin karena dosa dan tindakan keji yang bertentangan dengan perintah Illahi. Atas dorongan batin inilah, manusia dengan fitrahnya merasa wajib untuk berbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk sesamanya. Begitupun juga, menurut Amin Syukur, prilaku teladan ini adalah manusia yang dalam hidupnya senantiasa beramal shaleh (berbuat baik), yang didasari dengan iman kepada Allah yang mewujud dalam sikap takwa. Sedangkan menurut Sayyid Abul A’la Al-Maududi, prilaku teladan adalah system moral Islami yang berpusat pada sikap mencari ridho Allah, pengendalian nafsu negatif dan kemampuan berbuat kebajikan serta menjauhi perbuatan jahat.

2.2.    Pengertian Tercela
Sikap tercela adalah lawan dari sikap teladan, jika teladan adalah suatu sikap atau perbuatan baik yang layak ditiru, maka tercela adalah sebaliknya, yaitu segala sikap jelek yang sangat tidak pantas untuk ditiru.
Tercela ini adalah semua sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena akan mendatangkan kerugian baik bagi pelakunya ataupun orang lain.
.
2.3.    Contoh Kisah Teladan
2.3.1.   Masyithah Pelayan Firaun Yang Beriman
Di istana Firaun, Masyithah tinggal dengan keluarganya yang juga merupakan pelayan-pelayan Firaun. Mereka terdiri dari suami dan dua orang anaknya. Masyithah adalah penata rambut bagi istri-istri Firaun serta putri-putrinya. Tidak ada seorang pun dalam istana yang mengetahui bahwa mereka sekeluarga beriman kepada Allah dan Nabi Musa as., kecuali Asiah, istri Firaun. Mereka berdua adalah dua orang yang menjadi pengikut setia Nabi Musa as.
Pada suatu hari, Masyithah sedang menata rambut seorang putri Firaun, seperti biasa yang dilakukan sehari-hari. Namun, pada hari itu, dengan kehendak Allah, sisir yang sedang dipegang Masyithah tiba-tiba jatuh ke lantai, sehingga secara refleks Masyithah mengucapkan, “Dengan nama Allah, celakalah Firaun.” Ucapan tersebut meluncur begitu saja dari mulut Masyithah.
Sang putri menjadi heran sekali. Kemudian sang putri berkata, “Mengapa engkau menyebut nama Tuhan selain nama ayahku? Apakah engkau mempunyai Tuhan lain selain ayahku?” Dengan terang-terangan, tanpa mnyembunyikan keimanannya sekali pun Masyithah menjawab, “Ya benar. Aku mempunyai Tuhan selain ayahmu.”
Mendengar jawaban Masyithah ini sang putri terkejut. Sebab di negeri Mesir (saat itu) tidak ada seorang pun yang berani menentang kekuasaan ayahnya. Tetapi ini kok ada seorang pelayan dari kelas rendah justru melaknati ayahnya. Kemudian putri Firaun itu pun berkata, “Kejadian ini akan aku laporkan kepada ayahku.”
Di depan Firaun, Masyithah dan keluarga tetap tegar dan tidak memiliki rasa takut sedikit pun di hadapan penguasa lalim tersebut. Kebenaran akan tetap dikatakan, apapun yang terjadi.
Firaun bertanya, “Wahai Masyithah, apakah engkau mempunyai Tuhan lain selain aku?” Masyithah menjawab, “Benar, aku mempunyai Tuhan selain engkau. Tuhanku adalah Tuhanmu juga. Dialah Allah yang menciptakan dan menguasai jagad raya ini.”
Setelah segala macam bujuk rayu yang diusahakan Firaun mengalami kegagalan, maka Firaun pun menjadi gusar dan akhirnya memutuskan untuk memberikan hukuman kepada keluarga itu.
Melihat keteguhan hati Masyithah ini, Firaun lalu menggunakan akal liciknya. Firaun mengancam keluarga beriman itu dengan merebus mereka hidup-hidup di dalam satu wadah yang besar. Namun ternyata kekuatan iman keluarga mulia itu sangat kuat hingga tidak mampu dirobohkan oleh ancaman seperti apapun juga. Bahkan dengan tegas Masyithah berbalik menentang Firaun dengan berkata, “Jika engkau benar-benar akan membunuh kami karena tidak mau mengakui dirimu sebagai Tuhan, maka kuburkanlah kami dalam satu lubang!”
Mendengar hal tersebut, Firaun merasa terhina bukan main. Mau mengancam agar menakut-nakuti Masyithah dan keluarganya, justru mereka malah meminta dikuburkan bersama. Bagi Firaun yang sombong, hal ini merupakan pelecehan dan penghinaan besar. Seolah-olah kekejaman Firaun tidak dianggap apa-apa oleh mereka.
Lantas Firaun pun berkata, “Baiklah jika itu memang permintaanmu, aku akan mengabulkannya!” Kemudian Firaun memanggil pelayan dan para algojonya untuk menyiapkan sebuah tungku yang sangat besar. Sebuah wadah yang berukuran raksasa didatangkan beserta kayu bakar yang banyak.
Tidak jauh dari tempat tersebut, Masyithah dan keluarganya mencoba untuk tetap tenang. Anaknya yang masih balita yang masih berada dalam gendongannya tampak diam tanpa merengek, tidak merasakan hawa panas dari nyala api yang besar itu. Sungguh besar kuasa Allah. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Orang pertama yang mendapat giliran untuk direbus hidup-hidup adalah Hizqil suami Masyithah yang memegang teguh keimanan ini benar-benar telah syahid seiring dengan dilemparkan dirinya ke dalam air mendidih itu.
Firaun menawar sekali lagi, agar Masyithah mau mengakui dirinya sebagai Tuhan. Jika menerima, maka anak-anaknya akan selamat. Tetapi jika menolak, maka anak-anaknya akan bernasib sama seperti ayahnya. Tetapi Masyithah tetap tegar dan gigih memegang keimanan.
Firaun pun segera memerintahkan untuk menyeret anak pertama Masyithah agar dimasukkan ke dalam air mendidih tersebut. Anak tersebut akhirnya diseret oleh algojo-algojo Firaun, dan dilemparkan ke dalam air mendidih itu bersatu dengan jasad ayahnya yang sudah syahid. Inna lillaahi wa inna ilaihi raa jii’uun.
Kemudian Firaun pun menawar sekali lagi agar Masyithah meninggalkan keimananya dan berali mengakui Firaun sebagai Tuhan. Tetapi tidak. Sekali-kali tidak. Kekuatan iman Masyithah melebihi kuatnya benteng dan istana Firaun. Ia akan tetap merelakan anaknya yang masih balita, itu untuk bersatu dengan ayahnya dan kakaknya dalam didihan air yang sangat panas.
Tiba-tiba sebuah keajaiban terjadi. Sungguh besar kuasa Allah. Bayi Masyithah yang masih balita itu kemudian berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, jatuhkanlah diriku bersamamu ke dalam air mendidih itu, sesungguhnya engkau di pihak yang benar.”
Mendengar hal tersebut, akhirnya Masyithah bertambah yakin akan keimanannya. Hatinya menjadi tentram dan semakin yakin untuk bertemu dengan Tuhannya, Tuhan yang sesungguhnya.
Akhirnya, dengan tenang hati, Masyithah pun secara sukarela mendekati api unggun besar itu, dan masuk ke dalam air mendidih itu bersama putra bungsunya yang masih kecil. Inna lillahi wa inna ilaihi raajii’uun.

2.3.3.   Bilal bin Rabah
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.
Ketika Makah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata,“Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras. Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Mekkah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

2.4.    Contoh Kisah Tercela
2.4.1.   Fir’aun
Siapa yang tidak kenal Fir’aun. Seorang raja terkuat dan terbesar kekuasaannya di Mesir pada era Nabi Musa dan Nabi Harun. Dia adalah raja diktator, kejam, dan sangat takabbur, hingga mengatasnamakan dirinya sebagai Tuhan yang Paling Tinggi. Artinya disamping raja, dia juga mengaku sebagai Tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya berikut perintah-perintahnya. Oleh karena itu, jika ada rakyat yang tidak patuh terhadap Fir’aun, maka akan diberi hukuman yang sadis dan bahkan bisa menghabisi nyawa rakyat yang dianggap menentangnya.
Suatu saat Fir’aun bermimpi, seorang juru ramal memperingatkan kepada sang raja untuk waspada terhadap kerajaannya karena dalam mimpi tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu dekat akan lahir bayi dari rakyat biasa dan lemah yang kelak akan menumbangkan kekuasaan Fir’aun. Seketika itu pula, Fir’aun merasa panik setelah mendengar perkataan juru ramal tersebut dan mengumpulkan para pasukannya untuk mengadakan operasi mendadak kepada para ibu yang telah melahirkan anak. Jika bayi yang dilahirkan perempuan, maka dibiarkan. Sebaliknya, jika bayi yang dilahirkan laki-laki akan dikumpulkan menjadi satu dan di bawa ke istana kerajaan. Sejumlah bayi yang masih suci tersebut lalu disembelih satu persatu dengan sangat sadis, sehingga darah segar para bayi itu mengalir deras ke laut merah.
Fir’aun membantai bayi laki-laki tak berdosa tersebut bukan karena tidak sayang pada bayi, juga bukan karena faktor kesalahan si bayi, namun karena takut kehilangan jabatan dan kedudukan empuk yang amat dicintainya. Walaupun, tidak semua bayi tersebut kelak akan menjadi musuh bagi sang raja, namun tetap dibunuh secara massal agar tidak ada satu pun bayi yang bisa menggeser kedudukannya.
Tapi, apapun usaha Fir’aun untuk mempertahankan kekuasaannya, tetap saja akhirnya dia tumbang dengan cara mengenaskan. Dia bersama bala tentara yang sangat dibanggakannya tenggelam di laut merah (laut yang pernah dia jadikan tempat pembantaian bayi-bayi suci).

2.4.2.   Umayyah bin Khalaf
Umayyah bin Khalaf mengira bahwa Bilal radhiyallahu ‘anhu seorang budak yang dimiliki, badan, akal, serta jiwa dan seluruh anggota badannya. Akalnya tidak mampu meyakini apa yang dia kehendaki, ataupun memikirkan apa yang diinginkannya. Umayyah lupa dan tidak terlintas padanya bahwa akal Bilal dan keimanannya serta aqidahnya tidak berada di bawah kekuasaannya. Dia tidak bisa membendung celah-celah cahaya dalam hati yang bersinar, dengan cahaya Allah.
Mulailah penyiksaan menggiring Umayyah dengan sikap kefajiran dan kedengkiannya. Umayyah seorang yang kaku kepribadiannya, keras hatinya, tidak mengalir di hatinya setetes rasa kemanusiaan. Karena itu sifat jelek tersebut mendorongnya untuk melampiaskan bersama kedengkiannya terhadap Bilal radhiyallahu ‘anhu, di mana sikap Bilal menjadi lambang bagi kemanusiaan dan kebebasan hak.
Si kafir lagi pelaku dosa, Umayyah bin Khalaf menyiksa Bilal, menimpali siksa dalam berbagai bentuk dan gambaran dari kebejatannya, berupa kekerasan serta kengerian yang menjadikan kulit merinding, mengguncang pasak gunung karena keganasannya. Umayyah menyiksa Bilal radhiyallahu ‘anhu dengan penyiksaan yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di dunia, ia betul-betul mendera Bilal dengan sekuat tenaga, sedangkan Bilal merasakan ketenangan hati dengan cahaya rohani keimanan, dia merasakan adzab seakan kenikmatan yang jarang didapatkan dalam agama dan keimanannya, dia menganggap manis pahitnya empedu di jalan Allah untuk menjaga iman. Berikut ini sebagai fakta dan gambaran dari penyiksaan yang pedih itu.
Umayyah memerintahkan para pembantunya untuk mengeluarkan Bilal di terik matahari, di mana padang pasir Mekah menjadi bara api yang membinasakan, mereka menyungkurkan Bilal di atas kepanasan yang membakar dalam keadaan telanjang, kemudian mereka mendatangkan batu panas ibarat bara api dan meletakkan di atas dadanya, lantas Umayyah berkata pada Bilal, “Demi Allah, kau akan tetap seperti ini hingga meninggalkan agama Muhammad.” Bilal berkata, “Ahad.. Ahad.”
Kalimat Ahad seakan petir yang menyambar Umayyah, kemudian kemarahan menguasainya dan menumpahkan pemukulan kepada Bilal juga cacian. Hal itu tidak menambah seruan Bilal melainkan kembali berkata, “Ahad, Ahad.”
Mereka, para saksi mata melihat sebagian pemandangan yang dialami Bilal radhiyallahu ‘anhu, mereka menukil gambar sidik jari Umayyah yang zhalim dalam kumpulan catatan kehinaannya.
Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhumeriwayatkan pemandangan yang dilihatnya di Mekah. Dia melihat Umayyah bin Khalaf hampir meledak karena menahan amarahnya keteguhan Bilal. Dia berkata:
“Aku melewati Bilal sedang disiksa di terik matahari, seandainya sepotong daging diletakkan, niscaya akan matang. Bilal berkata, ‘Aku kafir (mengingkari) Laata dan Uzza. Sedangkan Umayyah marah kepadanya dengan menambah siksaaan dan Bilal pun menerimanya. Umayyah pergi dengan alat pencukurnya sedangkan Bilal pingsan kemudian sadar.”
Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan kejadian lain yang menampakkan keteguhan Bilal dan kepahlawanannya, kebodohan Umayyah dan kekerasannya. Dia berkata,
“Aku melakukan umrah, lalu aku melihat Bilal diikat dengan tali panjang yang dibentangkan anak-anak, ‘Amr bin Fuhairah bersamanya sementara Bilal radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ahad… Ahad, aku kufur terhadap Laata dan Uzza, Hubal, Isaf, Nailah, serta Buwanah.’ Maka Umayyah menyeretnya ke padang pasir.”
Umayyah bin Khalaf, musuh Allah dan rasul-Nya, semoga Allah tak henti-henti melaknatnya.
BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian ‘teladan’ adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (perbuatan, kelakuan, sifat).
Sikap tercela adalah lawan dari sikap teladan, jika teladan adalah suatu sikap atau perbuatan baik yang layak ditiru, maka tercela adalah sebaliknya, yaitu segala sikap jelek yang sangat tidak pantas untuk ditiru.
Banyak contoh kisah-kisah teladan maupun kisah-kisah tercela, karena keterbatasan halaman maka tidak dapat kami tampilkan semua.

3.2.    Saran
Karena keterbatasan ilmu, waktu dan juga halaman makalah ini sehingga tidak dapat dikatakan sempurna ataupun lengkap, untuk itu kepada rekan-rekan kami menyarankan untuk mencari refernsi tambahan melalui media baik itu media cetak maupun elektronik.

No comments:

Post a Comment