MATA KULIAH ILMU KALAM
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik menarik di antara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini tampaknya dipicu oleh truth claim yang dibangun atas kerangka berfikir masing-masing.
Perdebatan antar aliran kalam tentang sifat-sifat Tuhan tidak terbatas pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme, melihat Tuhan dan esensi Al-Qur’an.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana sifat-sifat Tuhan menurut aliran:
a) Mu’tazilah?
b) Asy’ariyah?
c) Maturidiyah?
d) Dan Syi’ah Rafidhah?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita seputar aliran kalam, selain itu juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam.
B. PEMBAHASAN
1. Aliran Mu’tazilah
Untuk mengetahui lebih jelas pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah, berikut ini akan dikemukakan pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah diantaranya An-Nazhzham dan Abu Hudzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan sifat-sifat dzat Allah yang lain. Allah dalam pendapatnya, senantiasa tahu hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadim dengan diri-Nya sendiri, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadiman. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain.
An-Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya(bukan sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli, dan buta. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain. Ia ditanya,”Mengapa Anda menyebut nama yang beragam untuk dzat Allah, “Yang” Tahu, “Yang” berkuasa, “Yang” Hidup, dan lain-lain. Mengapa Anda tidak menyebut dzat saja? Mengapa pula Anda menolak pemaknaan ”Yang” tahu dengan pemaknaan “Yang” Berkuasa dan “Yang “ hidup?” Ia menjawab, karena beragam lawan sifat-sifat itu yang harus dinafikkan dari-Nya, seperti bodoh, lemah, dan mati.” Namun, Ia tidak menjawab pertanyaan yang terakhir.
Sementara itu, dalam pandangan Abu Hudzail, esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-Nya yang lain. Ia berkata, ”Kalau Aku menyatakan Allah ‘Bersifat’ tahu, artinya Akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya sendiri. Dengan begitu, aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah itu bodoh terhadap sesuatu yang sudah atau akan terjadi. Kalau kenyataan bahwa Allah “Bersifat” kuasa, itu artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah dzat Allah sendiri. Dengan demikian, aku menolak tegas-tegas anggapan bahwa Allah itu lemahterhadap sesuatu yang sudah atau akan terjadi.” Demikian pula menurut Abu Hudzail, “sifat-sifat” dzat Allah yang lain.
Ketika Abu Hudzail ditanya, “Kami mendengar bahwa pengetahuan Allah adalah Allah sendiri, apakah Anda juga berpendapat bahwa pengetahuan Allah adalah kekuasaan-Nya?” Ia menolaknya. Ketika ditanya lagi, “Bukan kekuasaan-Nya?” Ia pun menolaknya. Atas jawaban Abu Hudzail yang kontradiktif ini, lawan-lawannya sering mengibaratkan pendapat Abu Hudzail tentang persoalan ini dengan ucapan: “Sesungguhnya pengetahuan Allah bukanlah Allah sendiri, tetapi bukan pula yang lain”.
Ketika dikatakan kepadanya, “Anda mengatakan bahwa pengetahuan Allah pada esensinya adalah Allah sendiri maka Anda pun harus mengatakan bahwa Allah adalah pengetahuan.” ternyata Ia tidak mau mengatakan bahwa pengetahuan Allah adalah Allah sendiri.
Meski terdapat perbedaan faham antara pemuka Mu’tazilah, namun mereka sepakat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama, Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak apat dilihat dan kedua, bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti, Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.
2. Aliran Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al- Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya disamping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat, dan bahwa sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia.
Aliran Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat jasmani manusia. Namun, ayat-ayat Al-Qur’an kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya. Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai wajah, mata, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya). Aliran Asy’ariyah juga mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud. Karena Tuhan mempunyai wujud, Ia dapat dilihat. Lebih jauh dikatakan bahwa Tuhan melihat apa yang ada.
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Asy’ari berpegang teguh pada pernyataan bahwa Al-Qur’an itu bukan mahluk sebab segala sesuatu tercipta, setelah berfirman Kum (jadilah), maka segala sesuatu pun terjadi.
3. Aliran Maturidiyah
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari esensi-Nya.
Tampaknya faham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung memiliki kesamaan dengan faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
4. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu. Mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa makna Allah bersifat tahu adalah Ia berbuat. Tatkala ditanya apakah Allah senantiasa Allah bersifat tahu terhadap diri-Nya, jawaban mereka beragam. Sebagian menjawab bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap diri-Nya sendiri sebelum menciptakan pengetahuan sebab Ia memang ada. Jika ditanya apakah Allah senantiasa berbuat, mereka menjawab “Ya, tetapi kami tidak mengatakan bahwa perbuatan-Nya juga qadim”.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati Tuhan dengan bada (perubahan). Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengalami banyak perubahan. Perubahan ini bukan berarti naskh, tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama Ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Meski terdapat perbedaan faham antara pemuka Mu’tazilah, namun mereka sepakat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama,Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak apat dilihat dan kedua, bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti, Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.
Aliran Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat, namun mereka menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat jasmani manusia. kendatipun ayat-ayat Al-Qur’an menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya. Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai wajah, mata, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari esensi-Nya.
Sebagian besar tokoh Syi’ah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu. Mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Mayoritas tokoh Rafidhahmenyifati Tuhan dengan bada (perubahan). Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengalami banyak perubahan. Perubahan ini bukan berarti naskh, tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama Ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.
2. Kritik dan Saran
Karena keterbatasan ilmu, hingga makalah ini tidaklah sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada penulisan makalah-makalah kami yang selanjutnya dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A. 1982. Theology Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Rozak Abdul dan Rosihon Anwar. 2007. Ilmu Kalam (Cet. 3). Bandung: Pustaka Setia
No comments:
Post a Comment