Translate

Thursday, August 22, 2013

Makalah Ketentuan dan Kriteria Qira'at Al-Qur'an

MATA KULIAH QIRA'AT AL-QUR'AN





A.           PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang Masalah
Seperti kita ketahui, Al-Qur’an merupakan salah satu sumber hukum Islam yang keorisinalitasnya dapat dipertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun makna.  Selain itu seluruh ayat dalam Al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir baik hafalan maupun tulisan. Al-Qur’an tidak terlepas dari aspek qira’at, karena pengertian Al-Qur’an itu sendiri secara lughat (bahasa) berarti ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’. Qira’at Al-Qur’an disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada para tabi’in. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa proses kodifikasi al-Qur’an pada masa khalifah Usman berada pada titik kritis kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira’at yang satu dengan aliran qira’at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Usman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi intelektual diantara mereka. Adanya pengklaiman qiraatnya paling benar dan qiraat orang lain salah merambah dimana-mana.
Hal ini menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Situasi demikian sangat mencemaskan Khalifah Usman. Untuk itu ia  mengundang para sahabat terkemuka untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang disimpan di rumah Hafsah disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke berbagai kota, untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu terjadi perselisihan sistem qira’at. Sementara itu, Khalifah Usman memerintahkan untuk membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi pada masanya yang dikenal dengan nama Mushaf Imam. Kebijakan khalifah Usman ini di satu sisi merugikan karena menyeragamkan qiraat yakni dengan lisan Quraish (dialek orang-orang Quraish), namun disisi lain lebih menguntungkan yakni umat Islam bersatu kembali setelah terjadi saling menyerang dan menyalahkan antara satu dengan yang lain.

2.        Rumusan Masalah
a)         Apa pengertian qira’at Al-Qur’an?
b)        Berapa macam qira’at Al-Qur’an?
c)         Bagaimana kriteria dan ketentuan qira’at Al-Qur’an?




B.            PEMBAHASAN
1.        Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Qira’at adalah jamak dari qira’ah, yang berarti bacaan sedangkan menurut bahasa merupakan isim mashdar dari lafal qara’a (fi’il madhi) yang berarti membaca. Maka qira’at berarti bacaan atau cara mebaca. Sedangkan menurut istilah qira’at adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya[1].
Bila dirujuk bedasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi qira’at menurut para ulama, diantaranya:
a)         Menurut Az-Zarqani
Az-Zarqani mendefinisikan qira’ah dalam terjemahan bukunya yaitu: madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya[2].
b)        Menurut Ibn Al-Jazari
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya[3].
c)         Menurut Al-Qasthalani
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl dan washlyang kesemuanya diperoleh secara periwayatan[4].
d)        Menurut Az-Zarkasyi
Qira’at adalah pebedaan cara mengucapkan lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif(meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.
e)         Menurut Al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
Perbedaa.n cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Dengan demikian dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga pengertian qira’at yang dapat ditangkap dari definisi di atas, yaitu:
a)         Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
b)        Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
c)         Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl dan washl.

2.        Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an
a)        Macam-macam qiraat dilihat dari segi kuantitas
1)        Qiraah sab’ah (qira’ah tujuh)
Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh. Mereka itu adalah : Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullah al-Yashibi (q. 118 H), Abu ‘Amar (w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188 H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.
2)        Qiraat Asyrah (qira’at sepuluh)
Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w. 229 H)
3)        Qiraat Arba’at Asyarh (qira’at empat belas)
Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).

b)        Macam-macam qiraat dilihat dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan dalam lima bagian, yaitu:
1)        Qiraat Mutawatir
Yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk dalam bagian ini.
2)        Qiraat Masyhur
Yakni qiraatyang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.



3)        Qiraat Ahad
Yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan[5].
4)        Qiraat Syadz(menyimpang),
Yakni qiraatyang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraatini.
5)        Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani
6)        As-Suyuthi kemudian menambah qiraatyang keenam,
Yakni qiraatyang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.

3.        Kriteria dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an
Untuk menangkal penyelewengan qiraat yang sudah muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qiraat yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qiraat yang benar, yaitu:
a)        Kesesuaiannya dengan Satu Ragam Dari Beberapa Macam Ragam Bahasa Arab.
Sama saja apakah ia ragam bahasa Arab yang fasih atau afshah (lebih fasih). Karena qira’at adalah sunnah yang diikuti, wajib untuk diterima dan jalan untuk mengarah kepadanya adalah dengan menggunakan sanad, bukan dengan ra’yu(akal/rasio).



b)        Qira’at Tersebut Sesuai dengan Salah Satu Mushaf ‘Utsmani.
Walaupun bersifat kemungkinan (tidak secara pasti). Karena para Shahabat radhiyallahu 'anhumdi dalam penulisan mushaf ‘Utsmani mereka berijtihad dalam membuat rasm(bentuk tulisan/khat) berdasarkan apa yang mereka ketahui dari bahasa-bahasa Qira’at. Maka mereka menulis الصراط misalnya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Dengan menggunakan huruf ص -sebagai ganti dari huruf س- mereka tidak menggunakan huruf س yang ia adalah asal dari kata tersebut, supaya qira’at (bacaan) س (السراط). Dan meskipun ia menyelisihi rasm (tulisan) dari satu ragam, namun ia telah datang sesuai dengan asal mula kata tersebut secara bahasa yang telah dikenal, sehingga keduanya seimbang dan jadilah bacaan dengan isymam mungkin untuk dilakukan. (Isymam adalah memonyongkan kedua bibir seperti orang yang hendak mengucapkan dhommah namun dampak dari pemonyongan bibir tidak tampak dalam ucapan)

c)         Qira’at tersebut harus shahih sanadnya.
Karena Qira’at adalah sunnah yang diikuti, yang didasarkan pada kebenaran penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali para ahli bahasa Arab mengingkari suatu Qira’at di antara macam-macam Qira’at yang ada dengan alasan keluarnya Qira’at tersebut dari aturan/kaidah bahasa Arab, atau karena lemahnya ia dari sisi bahasa. Namun para imam ahli Qira’at tidak mengindahkan dan memeperhatikan pengingkaran tersebut (karena mereka lebih mengedepankan keshahihan sanad. Wallahu A’lam, ed)
Itulah patokan untuk sebuah Qira’at yang shahih. Mak jika terpenuhi ketiga rukun; Pertama,kecocokannya dengan bahasa Arab, Kedua, Kecocokannya dengan mushaf dan Ketiga adalah shahihnya sanad qira’at tersebut, maka ia adalah Qira’at yang shahih. Dan kapan saja hilang salah satu rukun atau lebih dari rukun-rukun tersebut, maka Qira’at tersebut dinamakan dengan Qira’at Dha’if, atau Syadz atau Batil.
Dan termasuk hal yang mengherankan adalah bahwa sebagian ahli Nahwu (ilmu tata bahasa Arab) –setelah hal di atas- menyalahkan Qira’at Shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah di atas, hanya dikarenakan Qira’at tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu Nahwu yang mereka susun yang dengannya mereka menghukumi keshahihan sebuah bahasa. Padahal Seharusnya kita menjadikan Qira’at Shahih sebagai hakim yang menghukumi benar dan tidaknya sebuah kaidah dalam ilmu Nahwu dan bahasa, bukan dengan menjadikan kaidah bahasa sebagai hakim dalam al-Qur’an (yang menghakimi sah dan tidaknya sebuah Qira’at, ed). Karena al-Qur’an adalah sumber pertama dan pokok untuk pengambilan kaidah-kaidah bahasa. Dan al-Qur’an (dalam penetapannya) bersandarkan kepada keabsahahan penukilan dan periwayatan yang menjadi sandaran para imam Qurra’, dalam sisi bahasa apapun.
Abu ‘Amr ad-Dani rahimahullah berkata:”Para imam Qurra’ tidak menetapkan sedikitpun dari huruf-huruf al-Qur’an berdasarkan apa yang paling populer dalam bahasa Arab dan apa yang paling sesuai dengan Qiyas (analogi) dalam bahasa Arab, akan tetapi berdasarkan yang paling valid dalam periwayatan dan paling shahih dalam penukilan. Dan jika sebuah Qira’at telah valid maka qiyas bahasa Arab dan kepopuleran dialek tidak bisa menolaknya. Karena Qira’at adalah sunah yang diikuti, wajib diterima dan dijadikan rujukan.”
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu berkata:”Qira’at adalah sunah yang diikuti.” Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:”Maksud beliau adalah mengikuti orang-orang sebelum kita dalam masalah huruf-huruf al-Qur’an adalah sunnah yang harus diikuti, tidak boleh menyelisihi mushaf yang ia adalah pedoman, dan tidak boleh pula menyelisihi Qira’at yang masyhur sekalipun yang selain itu boleh di dalam kaidah bahasa (Arab, ed).”



C.           PENUTUP
1.        Kesimpulan
Qira’ah al-qur’an adalah mazhab pembacaan alqur’an dari para imam qura’ yang masing-masing mempunyai perbedaan dalam pengucapan alqur’an al-karim dan disandarkan pada sanad-sanadnya sampai kepada rasullulah Saw. Perbedaan-perbedaan bacaan umat muslim sesuai mazhab qiraah yang diikutinya, ini menunjukkan betapa islam sangat menghargai perbedaan. Perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat menimbulkan perpecahan, bahkan merupakan sebuah rahmat. Sebagaimana sabda rasullah dalam sebuah hadist “ perbedaan yang terjadi dalam umat-ku adalah rahmat”. Dengan perbedaan dalam pembacaan qiraah menimbulkan perbedaan dalam mengistimbatkan hukum (dimana satu hukum dengan hukum lainnya saling menguatkan). Ketika seorang mufassir menafsirkan al-qur’an menurut mazhab yang diikutinya, maka ia melahirkan hukum yang berbeda dengan mufassir lain yang mengambil ( mengikuti) mazhab lain.

2.        Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, itu semua hanyalah keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki dan  hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penulis menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qira’at agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.




DAFTAR PUSTAKA


Manna Khalil Al-Khattan. 2006. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa
Muhamad ‘Abd Al-Azhim Az-Zarqani. Tanpa tahun. Manhil Al-Irfan. Beirut: Daar Al-Fikr
Rosihan Anwar. 2000. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
Syaikh Manna Al-Qaththan. 2011. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, cet. 6. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar



[1] Manna Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2006, cet 9), hlm 247.
[2] Muhamad ‘Abd Al-Azhim Az-Zarqani, Manhil Al-Irfan, (Beirut: Daar Al-Fikr, tt, jilid I), hlm 412.
[3] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 147.
[4] Ibid., 147
[5] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, cet. 6, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hlm 220.


No comments:

Post a Comment