MATA KULIAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan itu begitu bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah, di rumah atau dengan teman sepermainannya.
Dalam proses belajar itu terdapat berbagai tipe-tipe belajar serta penyelesaian permasalahan proses pembelajaran. Oleh karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan atau ketidak lengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang akan dicapai peserta didik. Karena hal itu, makalah ini berusaha menjelaskan mengenai definisi belajar, tipe-tipe belajar, dan cara mengatasi permasalahan dari belajar.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan belajar dan kesulitan belajar?
b. Apa saja tipe-tipe belajar dan kesulitan belajar itu?
c. Dan bagaimana cara mengatasi kesulitan belajar itu?
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian belajar.
b. Untuk mengetahui tipe-tipe belajar itu.
c. Untuk mengetahui cara mengatasi permasalahan belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Belajar
Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman[1].
Sementara itu beberapa ahli mempunyai defenisi tersendiri tentang belajar, di antaranya yaitu:
a) Hilgard dan Bower: “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungannya berupa respon pembawaan, kematangan atau keadaan sesaat seseorang”.
b) Witherington: “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian”.
c) R. Gagne: “Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku”[2].
Melihat pendapat-pendapat di atas, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian yang disebabkan oleh situasi stimulus yang berupa latihan atau pengalaman yang berulang-ulang.
2.2. Tipe-tipe Belajar
Mengetahui pola belajar peserta didik adalah modal bagai seorang guru untuk menentukan strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe, yang tiap tipe merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya.
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan dijelaskan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut[3].
a. Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi, tidak ada persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk menuju jenjang belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak dan perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning. Ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional selain timbulnya dengan tidak sengaja dan tidak dapat dikuasai. Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
b. Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus-respon)
Bila tipe di atas digolongkan dalam jenis classical condition, maka belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Contohnya yaitu seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru member pertanyaan kemudian murid menjawab.
c. Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Contohnya yaitu pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan untuk mencapai tujuannya. Chaining terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan conntiguity).
d. Belajar Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
Baik chaining maupun verbal association, yang kedua tipe belajar ini, menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila melihat bolanya. Sebelumnya, ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal `bujur sangkar’ sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal ‘bola’, `saya’, dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti satu lagi (conntiguity).
e. Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar membedakan. Tipe ini peserta didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama berlangsung proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai pola aturan melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R)
Contoh:. Guru mengenal peserta didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu berserta namanya. Untuk mengenal model lain diadakannya chain baru dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi. Makin banyak yang dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.
f. Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.
Belajar konsep dapat dilakukan karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. la dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh peserta didik dengan perintah: “Ambilkan botol yang di tengah! ” Untuk mempelajari suatu konsep, peserta didik harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
g. Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga peserta didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dipandang sebagai “rule “: prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
h. Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para peserta didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: Individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Contohnya yaitu seorang guru memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut.
2.3. Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi di mana anak didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan ataupun gangguan dalam belajar.
Setiap anak didik datang ke sekolah agar menjadi orang berilmu pengetahuan, sebagaian besar waktu yang tersedia harus digunakan oleh anak untuk belajar, tidak mesti di sekolah, di rumah pun harus ada waktu yang disediakan untuk kepentingan belajar. Namun, sayangnya hambatan dan gangguan dialami oleh anak didik tertentu. Sehingga mereka mengalami kesulitan dalam belajar. Pada tingkat tertentu memang ada anak didik yang dapat mengatasi kesulitan belajarnya, karena anak didik belum mampu mengatasi kesulitan belajarnya, maka bantuan guru atau orang lain sangat diperlukan oleh anak didik.
2.4. Faktor-faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar anak didik dapat dibagi menjadi 4 (empat) yaitu:[4]
1) Faktor anak didik
Anak didik adalah subjek yang belajar. Kesulitan belajar yang diderita anak didik tidak hanya yang bersifat menetap, tetapi juga yang bisa di hilangkan dengan usaha tertentu.
Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kesulitan belajar anak didik:
a. Inteligensi (IQ) yang kurang baik.
b. Bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang dipelajari atau yang diberikan oleh guru.
c. Faktor emosional yang kurang stabil.
d. Aktivitas belajar yang kurang.
e. Penyesuaian sosial yang sulit.
f. Lantar belakang pengalaman yang pahit.
g. Cita-cita yang tidak relevan.
h. Latar belakang pendidikan dengan sistem sosial dan kegiatan belajar mengajar di kelas yang kurang baik.
i. Lama belajar yang tidak sesuai dengan tuntutan waktu belajarnya.
j. Keadaan fisik yang kurang menunjang.
k. Kesehatan yang kurang baik.
l. Seks atau pernikahan yang tak terkendali.
m. Pengetahuan dan keterampilan dasar yang kurang memadai atas bahan yang dipelajari.
n. Tidak ada motivasi belajar.
2) Faktor sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan formal tempat pengabdian guru dan rumah rehabilitasi anak didik. Sekolah ikut terlibat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak didik. Faktor-faktor dari lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak didik adalah sebagai berikut:
a. guru dengan anak didik kurang harmonis.
b. Guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan anak.
c. Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mendiagnosis kesulitan belajar anak didik.
d. Cara guru mengajar kurang baik.
e. Alat media yang kurang baik.
f. Perpustakaan sekolah kurang memadai.
g. Suasana sekolah yang kurang menyenangkan.
h. Bimbingan dan penyuluhan yang tidak berfungsi.
i. Kepemimpinan dan administrasi yang kurang menunjang.
j. Waktu sekolah dan disiplin yang kurang.
3) Faktor keluarga
Keluarga adalah lembaga pendidikan informal (luar sekolah) yang diakui keberadaannya dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa faktor dalam keluarga yang mennjadi penyebab kesulitan belajar anak didik sebagai berikut:
a. Kurangnya kelengkapan alat-alat belajar bagi anak di rumah.
b. Kurangnya biaya pendidikan yang disediakan orang tua.
c. Anak tidak mempunyai ruang dan tempat belajar yang khusus.
d. Ekonomi keluarga yang lemah atau tinggi yang membuat anak berlebih-lebihan.
e. Kesehatan keluarga yang kurang baik.
f. Perhatian orang tua yang tidak memadai.
g. Kebiasaan dalam keluarga yang tidak menunjang.
h. Kedudukan anak dalam keluarga yang menyedihkan.
i. Anak terlalu banyak membantu orang tua.
4) Faktor masyarakat sekitar
Jika keluarga adalah komunitas masyarakat terkecil, maka masyarakat adalah komunitas masyarakat kehidupan sosial yang tersebar. Dalam masyarakat terpatri strata sosial yang merupakan penjelmaan dari suku, ras, agama, antar golongan, pendidikan, jabatan, status, dan sebagainya. Pergaulan yang terkadang kurang bersahabat sering memicu konflik sosial. Keributan, pertengkaran, pembunuhan, perjudian, perampokan, gossip dan perilaku jahiliyah lainya sudah menjadi santapan sehari-hari dalam masyarakat. Ketergantungan pada obat terlarang membuat anak didik pasrah pada nasib. Anak didik tidak bisa lagi dididik karena pengaruh obat terlarang. Keributan lingkungan sekitar berpotensi memecahkan konsentrasi anak didik dalam belajar. Akhirnya anak didik tidak betah belajar karena sulit membangkitkan daya konsentrasi. Kesulitan belajar bagi anak didik juga bersumber dari media cetak dan media elektronik (Sarwono, 1981:28).
2.5. Usaha Mengatasi Kesulitan Belajar
Secara garis besar, lankah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka usaha mengatasi kesulitan belajar anak didik, dapat dilakukan melalui 6 (tahap) yaitu:
1) Pengumpulan Data
Usaha yang dapat dilakukan dalam usaha pengumpulkan data melalui kegiatan sebagai berikut:
a. Kunjungan rumah.
b. Case study dan case history.
c. Daftar pribadi.
d. Meneliti pekerjaan anak.
e. Meneliti tugas kelompok.
f. Melaksanakan tes, baik IQ maupun tes prestasi.
2) Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul tidak akan ada artinya jika tidak diolah secara cermat. Langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengolahan data adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi kasus.
b. Membandingkan antar kasus.
c. Membandingkan dengan hasil tes.
d. Menarik kesimpulan.
3) Diagnosis
Diagnosis merupakan keputusan (penentuan) mengenai hasil dari pengolahan data. Diagnosis dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar anak didik yaitu berat dan ringannya tingkat kesulitan yang dirasakan anak didik.
b. Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
c. Keputusan mengenai faktor utama yang menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
4) Prognosis
Keputusan yang diambil berdasarkan hasil diagnosis menjadi dasar pijakan dalam kegiatan prognosis. Dalam prognosis dilakukan kegiatan penyusunan program dan penetapan ramalan mengenai bantuan yang harus diberikan kepada anak untuk membantunya keluar dari kesulitan belajar. Adapun pertanyaan yang harus diajukan menggunakan rumus 5W+1H.
5) Treatment
Bentuk treatment yang mungkin dapat diberikan adalah:
a. Melalui bimbingan belajar individual.
b. Melalui bimbingan belajar kelompok.
c. Melalui remedial teaching untuk mata pelajaran tertentu.
d. Melalui bimbingan orang tua di rumah.
e. Pemberian bimbingan pribadi untuk mengatasi masalah-masalah psikologis.
f. Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik secara umum.
g. Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran.
6) Evaluasi
Evaluasi dimaksudkan untuk menegtahui apakah treatment yang telah diberikan berhasil dengan baik. Artinya ada kemajuan, yaitu anak dapat dibantu keluar dari lingkaran masalah kesulitan belajar atau gagal sama sekali. Jika terjadi kegagalan treatment, langkah yang perlu ditempuh adalah Re-ceking (baik yang berhubungan dengan masalah pengumpulan maupun pengolahan data), Re-diagnosis, Re-prognosis, Re-treatment, Re-evaluasi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian yang disebabkan oleh situasi stimulus yang berupa latihan atau pengalaman yang berulang-ulang.
Di dalam proses belajar terdapat berbagai macam tipe-tipe belajar. Tipe-tipe belajar menurut Gagne terbagi menjadi 8 jenis yaitu: 1) belajar isyarat, 2) belajar stimupons/stimulus respons, 3) rantai atau rangkaian, 4) asosiasi verbal, 5) belajar diskriminasi/membedakan, 6) belajar konsep, 7) belajar aturan, 8) memecahkan masalah.
Pada dasarnya semua anak memiliki kemampuan, walaupun mungkin saja kemampuan yang dimiliki berbeda satu dengan yang lainnya. Pada tingkat pendidikan dasar berbagai kemampuan tersebut masih memiliki relasi yang kuat, membaca, menulis, serta berhitung. Masalah yang mungkin ada pada pada salah satu kemampuan tersebut dapat menggangu kemampuan yang lain. Dengan demikian apa yang kita sering lakukan baik sebagai seorang orang tua, ataupun guru dengan mengatakan seorang anak yang mendapatkan nilai rendah merupakan anak yang bodoh perlu menjadi perhatian kita. Karena mungkin saja anak hanya mengalami gangguan pada salah satu kemampuan tadi, dan ia tidak tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.
3.2. Saran
Kesulitan siswa dalam belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Dalam hal ini pendidik di sekolah dan orang tua di rumah dituntut untuk mengerti jenis masalah yang dihadapi oleh siswa atau anak. Dengan memahami jenis masalah, diharapkan pendidik mampu memberikan solusi penanggulangan sesuai dengan masalah yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia
http://hendrifirmansyah.blogspot.com/2010/07/pengertian-belajar.html
Djamarah, Syaiful Bahri.1999. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/konsep-dasar-strategi-pembelajaran-3/
http://afdhalilahi.blogspot.com/2013/03/tipe-tipe-belajar-secara-umum.html
No comments:
Post a Comment